Jumat, 11 Juli 2008

Abu Dzar : Pahlawan Kaum Mustadh'afin

Suku Ghifar tinggal di daerah yang dilewati kafilah-kafilah dagang. Mereka
adalah penunggang-penunggang kuda yang tangguh, jago-jago pedang yang
piawai. Abu Dzar berasal dari suku ini. Dia sering memimpin anak buahnya,
membajak para pedagang, Sebagai pemuka perampok Ghifari, dia ditakuti semua
orang. Tetapi Abu Nu'aim Al-Isfahani, dalam ensiklopedi orang sucinya,
Hilyat Al-Awliya, menyebut Abu Dzar sebagai wali yang ke dua puluh enam. Abu
Nu'aim menggelarinya Al-Qanit Al-Wahid, ahli ibadat yang sebatang kara.

Mengapa perampok ini menjadi orang suci ? Abu Nu'aim menjawab secara puitis
: Khadimar rasul, wata'allamal ushul, wa nabadzal fudhul (Dia mengabdi
kepada Rasul, belajar pokok-pokok agama, dan melemparkan kemegahan dunia).
Islam mempengaruhi pemikirannya, menunjukinya jalan yang lurus, dan
mengarahkan semangat juangnya. Sebelum masuk Islam, Abu Dzar bukan sebarang
perampok. Dia hanya merampok pengusaha multinasional yang kaya. Hasil
rampokannya dia bagikan kepada orang-orang miskin.

Ketika Anis, saudaranya, pulang dari Mekkah, dia melapor :"Aku menemukan
Nabi yang menganut agama seperti kamu." Maksud Anis, Nabi itu mewajibkan
orang kaya untuk memberikan sebagian dari hartanya kepada orang miskin,
Seperti Abu Dzar, Nabi mengecam penguasa yang sekaligus pengusaha; yang
tidak mempunyai kesetiakawanan sosial.

Maka berangkatlah Abu Dzar ke Makkah. Dia masuk Islam. Dia ber-bay'ah kepada
Nabi. " Aku berjanji akan menyatakan kebenaran walaupun pahit."

Dari tempat Rasul, dia menuju Masjid Al-Haram. Dia berteriak
sekeras-kerasnya : "Asyhadu alla ilaha ilallah; was asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah." Dia merupakan demonstran pertama yang menegakkan kalimah tauhid
di Mesjid Al-Haram. Dia juga demonstran pertama yang dianiaya, dipukuli dan
dikeroyok. Tubuhnya basah dengan darah, seperti kambing yang baru di
sembelih.

Kelak, setelah Nabi hijrah ke Madinah, Abu Dzar membawa rombongan kabilah
Ghifar dan Aslam. Di bawah pimpinannya, ke dua suku ini menyatakan sumpah
setia kepada Islam. Perlahan-lahan cahaya Islam menghujam di hati mereka.
"Raksasa Garong dan komplotan setan telah berubah rupa menjadi raksasa
kebajikan dan pendukung kebenaran," kata Khalid Muhammad Khalid dalam
Karakteristik 60 Sahabat Rasul.

Pada tahun ke sembilan Hijri, Nabi Muhammad saww mengerahkan pasukannya ke
Tabuk. Waktu itu musim kemarau dan udara terik membakar. Abu Dzar berada
dalam rombongan. Di tengah perjalanan, keledainya melemah. Jalannya sangat
lambat. Abu Dzar ketinggalan. Karena itu, dia tinggalkan keledainya. Dia
pikul barang-barang di punggungnya. Dengan terbungkuk-bungkuk, dia menyusul
rombongan Rasulullah. Di suatu tempat, Rasulullah dan rombongan
beristirahat. Seorang sahabat melaporkan ada kepulan debu dan noktah kecil
di kejauhan. "Mudah-mudahan itu Abu Dzar," kata Nabi yang mulia. Benar, Abu
Dzar datang terseok-seok. Begitu sampai di hadapan Nabi, dia rubuh. Bibirnya
kering kehausan. Setelah diberi air minum, ditemukan bahwa kantong air Abu
Dzar penuh air.

"Aku tidak meminumnya Rasulullah," kata Abu Dzar, "Ditengah perjalanan, aku
menemukan oase. Airnya jernih. Ketika aku mereguknya sedikit, aku merasakan
kelezatannya. Aku bersumpah aku takkan meminumnya sebelum engkau meminumnya
lebih dahulu, ya Rasulullah."

Seperti memandang jauh ke depan, Rasulullah berkata : " Hai Abu Dzar, engkau
datang sendirian, engkau hidup sendirian, engkau bakal mati sendirian juga.
Tetapi serombongan ahli Iraq yang saleh kelak akan mengurus pemakamanmu."

Inilah nubuwat Nabi yang menjadi suratan hidup Abu Dzar.

Setelah Nabi meninggal dunia, Abu Dzar berjuang di samping Ali bi Abi
Thalib. Bersama Miqdad, Ammar dan Salman, Abu Dzar menjadi 4 pilar kelompok
Ali.

Pada zaman Utsman, dia melihat sebagian dari ruling elite jahiliah tampil
kembali. Marwan bin Al-Hakam, yang pernah diusir Nabi dari Madinah, menjadi
sekretaris negara. Mua'wiyah, putra Abu Sufyan, yang kekuasaannya
digulingkan Rasulullah, menjadi Gubernur di Syria. Sementara itu, kekayaan
hanya dibagikan kepada keluarga penguasa. Al-Walid bin Uqbah, yang digelari
fasiq dalam Al-Qur'an diberi 100,000 dirham. Mahzur, pusat perdagangan di
Madinah, yang dahulu milik bersama, sekarang diserahkan kepada satu tangan
saja; yakni tangan Marwan bin Al-Hakam. Ladang rumput, yang dahulu bebas
dimasuki ternak siapapun, sekarang di monopoli oleh Bani Umayyah.

Abu Dzar teringat pesan Nabi. Pernah Nabi menegurnya, "Hai Abu Dzar,
bagaimana pendapatmu bila menjumpai penguasa yang mengambil upeti untuk
dirinya dari jabatannya ?"

"Demi Allah yang mengutus anda, akan aku tebas dengan pedangku," kata Abu
Dzar.

Nabi memberi nasehat, "Aku tunjuki cara yang lebih baik. Bersabarlah sampai
engkau berjumpa lagi denganku !"

Bagi Abu Dzar, bersabar bukan berarti tinggal diam. Bersabar artinya tidak
menggunakan kekerasan, tetapi tetap tabah
menyampaikan kebenaran walaupun pahit.

Pada satu sisi, Abu Dzar melihat para pejabat yang hidup mewah; dan pada
sisi yang lain, dia menyaksikan para pejuang zaman Rasulullah serba
kekurangan. "Sampai ada salah soerang diantara mereka yang menggadai, hanya
sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan
orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup
bermewah-mewah,"tulis Al-Husaini dalam Imam Al-Muhtadin.

Abu Dzar bangkit, tidak menghunus pedang, tetapi menyampaikan kontrol
sosial. Pada suatu hari, Abu Musa Al-Asy'ari membentangkan kedua tangannya
ingin memeluk Abu Dzar, "Salam bagimu Abu Dzar, selamat saudaraku !"

Dengan ketus Abu Dzar berkata, "Aku bukan saudaramu. Kita bersaudara dahulu,
sebelum kamu menjadi pejabat."

Ketika melihat Abu Darda sedang membangun rumah megah Abu Dzar
memperingatkan, "Engkau angkut batu-batu diatas tengkuk orang lain."

Dia juga menepiskan tangan Abu Hurairah ketika akan memeluknya,
"Menyingkirlah! Bukankah kamu sudah menjadi pejabat, sehingga terus menerus
mendirikan gedung, mengusahakan peternakan, dan memborong tanah-tanah
pertanian ?" Konon, Abu Hurairan berusaha menyanggahnya; dan mengatakan
bahwa semua itu hanya desas-desus.

Pada suatu hari, Abu Dzar hadir di majelis khalifah. Khalifah bertanya :
"Setelah menyerahkan zakat, apakah masih ada kewajiban lain ?"

Kata Kaab : "Tidak cukuplah zakat itu."

Abu Dzar memukul dada Kaab : "Engkau dusta, hai anak Yahudi. Allah berfirman
" Bukanlah kebaikan itu menghadapkan wajahmu ke barat atau ke timur.
Kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, pada malaikat, kitab
dan para nabi. Lalu memberikan harta yang dicintainya kepada keluarga dekat,
anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, para peminta, para tawanan, (dan
seterusnya) (Al-Baqarah 177).

Ketika khalifah bertanya bolehkah khalifah menggunakan harta kaum Muslim
sekehendaknya, Kaab menjawab boleh. Abu Dzar marah. Dia memukulkan
tongkatnya ke dada Kaab. Khalifah marah. Abu Dzar diusir ke Syria.

Marilah kita dengarkan penuturan Khalid Muhammad Khalid tentang perilaku Abu
Dzar di Syria :

"Pemimpin gerakan hidup sederhana inipun berkemas-kemas dan secepat kilat
berangkat ke Syiria. Dan ketika berita itu didengar rakyat jelata, merekapun
menyambut kedatangannya dengan semangat menyala penuh kerinduan dan
mengikuti ke mana perginya.

"Bicaralah, wahai Abu Dzar !" kata mereka, "Bicaralah wahai sahabat
Rasulullah."

Abu Dzar melepaskan pandang menyelidik ke arah orang -orang yang berkerumun.
Dilihatnya kebanyakan mereka orang-orang miskin yang dalam kebutuhan. Lalu
dilayangkan pandangannya ke tempat-tempat ketinggian yang tidak jauh
letaknya dari sana. Maka tampaklah olehnya gedung-gedung dan mahligai
tinggi. Berserulah dia kepada orang-orang yang berhimpun di sekelilingnya
itu : "Saya heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya; kenapa
dia tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunus pedangnya."

Tetapi segera teringat olehnya wasiat Rasulullah yang menyuruhnya memilih
cara evolusi daripada revolusi, menggunakan kata-kata tegas daripada senjata
pedang. Maka ditinggalkannyalah bahasa perang dan kembali menggunakan bahasa
logika dan kata-kata jitu. Dianjurkanlah kepada orang-orang itu bahwa mereka
sama tak ubahnya seperti gigi-gigi sisir... bahwa pemimpin serta pembesar
dari suatu golongan, haruslah yang pertama kali menderita kelaparan sebelum
anak buahnya, sebaliknya yang paling belakang menikmati kekenyangan setelah
mereka.

Ketika Mua'wiyah membangun istana megah Al-Khadhra, Abu Dzar setiap hari
berteriak di depan pintu gerbanya : Orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah kabarkan kepada mereka siksaan
yang pedih.

Kepada Mua'wiyah ia berkata : "Kalau rumah ini engkau bangun dengan hartamu
sendiri, engkau berlebih-lebihan. Kalau engkau bangun ini dengan harta kaum
Muslim, engkau khianat."

Mua'wiyah resah. Dia mengirim surat kepada khalifah bahwa Abu Dzar
meresahkan masyarakat, mengganggu stabilitas nasional. Abu Dzar dikirimkan
ke ibukota; diikatkan di atas kendaraannya. Dia sampai di Madinah dengan
sebagian pahanya terkelupas. Akhirnya, dia dikucilkan ke sebuah tempat
gersang, Rabadzah. Ali dan keluarganya mengantarkannya sampai ke batas kota.
Kata Ali " "Wahai Abu Dzar, engkau takut kepada mereka karena dunianya dan
mereka takut kepadamu karena keyakinanmu."

Abu Dzar hanya membalas dengan linangan air matanya. Kalian mengingatkan aku
kepada Rasulullah, "kata Abu Dzar.

Disana, ditanah gersang Rabadzah, Abu Dzar kelaparan. Mula-mula istrinya
mati, sesudah itu dirinya. Seperti nubuwat Nabi, dia mati sendirian. Mati
karena mempertahankan keyakinannya. Mati karena setia kepada bay'ahnya.

Kepada anaknya dia berpesan, "Pergilah engkau ke bukit disana. Nanti akan
ada orang Iraq lewat. Mereka akan mengurus jenazahku. Sampaikanlah kepada
mereka, jangan kafani aku dengan kain yang dibeli dari upah pegawai
pemerintah !

Dikutip dari "Islam Aktual" oleh KH. Jalaluddin Rakhmat.
Original sender: Rostian, Muhamadian

Tidak ada komentar: