Selasa, 29 Juli 2008

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN
Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah
barang tentu juga dihadapi orang lain, yaitu
masalah berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita,
khususnya terhadap kerabat yang bukan mahram saya,
seperti anak paman atau anak bibi, atau istri saudara ayah
atau istri saudara ibu, atau saudara wanita istri
saya, atau wanita-wanita lainnya yang ada hubungan
kekerabatan atau persemendaan dengan saya.
Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang
dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau
umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para
kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas
menemuinya dan bertahni'ah (mengucapkan selamat
atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan
yang lain.

Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur'an atau
As-Sunnah yang mengharamkan berjabat tangan antara
laki-laki dengan wanita, sementara sudah saya sebutkan
banyak motivasi kemasyarakatan atau kekeluargaan yang
melatarinya, disamping ada rasa saling percaya. aman dari
fitnah, dan jauh dari rangsangan syahwat. Sedangkan
kalau kita tidak mau berjabat tangan, maka mereka
memandang kita orang-orang beragama ini kuno dan
terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu
berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.

Apabila ada dalil syar'inya, maka kami akan
menghormatinya dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada
yang kami lakukan kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai
konsekuensi keimanan kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan
jika hanya semata-mata hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita
terdahulu, maka adakalanya fuqaha-fuqaha kita
sekarang boleh berbeda pendapat dengannya, apabila
mereka mempunyai ijtihad yang benar, dengan
didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa
berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.

Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz
dengan harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke
akar-akarnya berdasarkan Al-Qur'anul Karim dan
Al-Hadits asy-Syarif. Kalau ada dalil yang melarang
sudah tentu kami akan berhenti; tetapi jika dalam hal
ini terdapat kelapangan, maka kami tidak
mempersempit kelapangan-kelapangan yang diberikan Allah
kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan dan bisa
menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi.

Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak
itu tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya
ini, sebab - sebagaimana saya katakan di muka -
persoalan ini bukan persoalan saya seorang, tetapi
mungkin persoalan berjuta-juta orang seperti saya.

Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab,
dan memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik
masalah, dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz
bermanfaat.

JAWABAN

Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya
bahwa masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki
dengan perempuan - yang saudara tanyakan itu -
merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menahkik
hukumnya tidak bisa dilakukan dengan seenaknya. Ia
memerlukan kesungguhan dan pemikiran yang optimal dan
ilmiah sehingga si mufti harus bebas dari tekanan
pikiran orang lain atau pikiran yang telah diwarisi
dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati acuannya
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sehingga
argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan
untuk memperoleh pendapat yang lebih kuat dan
lebih mendekati kebenaran menurut pandangan seorang
faqih, yang didalam pembahasannya hanya mencari
ridha Allah, bukan memperturutkan hawa nafsu.

Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya
ingin mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan
perbedaan pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum
kedua gambaran itu tidak diperselisihkan oleh
fuqaha-fuqaha terdahulu, menurut pengetahuan saya. Kedua
gambaran itu ialah:

Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita
apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz
(berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau
wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang
tentu lebih terlarang lagi; penj.) atau dibelakang itu
dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang
kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa
menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib,
lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan
tersedia sarananya.

Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para
ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki
dengannya - yang pada asalnya mubah itu - bisa berubah
menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau
dikhawatirkan terjadinya fitnah,1 khususnya dengan anak
perempuan si istri (anak tiri), atau saudara
sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu
tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak
kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau
ibu, dan sebagainya.

Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan
dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap
laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang
belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena
berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab
fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak
punya gairah terhadap wanita.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a.
bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang
wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu
wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu
mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan
kepalanya dari kutu.2

Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur'an dalam
membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti
(dari haid dan mengandung), dan tiada gairah
terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam
beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang
lain:

"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari
haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi),
tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian
mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan,
dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (an-Nur: 60)

Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki
gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum
muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari
sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah
dalam hal menampakkan perhiasannya.

"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra
saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,
atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31)

Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi
tema pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan
pengkajian dan tahkik.

Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh
tubuhnya hingga wajah dan telapak tangannya, dan
tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang
dikecualikan oleh ayat:

"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya
kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa
tampak itu adalah pakaian luar seperti baju panjang,
mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena
darurat seperti tersingkap karena ditiup angin kencang
dan sebagainya. Maka tidak mengherankan lagi bahwa
berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut
mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak
tangan itu wajib ditutup maka melihatnya adalah
haram; dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi
menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat
daripada melihat, karena ia lebih merangsang,
sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.

Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat
demikian adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas
fuqaha dari kalangan sahabat, tabi'in, dan
orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang
dikecualikan dalam ayat "kecuali yang biasa tampak
daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak) tangan.

Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat
tangan yang tidak disertai syahwat?

Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang
memuaskan yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi
tidak saya temukan.

Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu
fitnah (saddudz-dzari'ah), dan alasan ini dapat
diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat
tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak
tanda-tandanya. Tetapi dalam kondisi aman - dan ini
sering terjadi - maka dimanakah letak keharamannya?

Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw.
yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika
beliau membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang
terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat
al-Mumtahanah.

Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi
saw. meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak
menunjukkan - secara pasti - akan keharamannya.
Adakalanya beliau meninggalkan sesuatu karena haram,
adakalanya karena makruh, adakalanya hal itu kurang
utama, dan adakalanya hanya semata-mata karena beliau
tidak berhasrat kepadanya, seperti beliau tidak memakan
daging biawak padahal daging itu mubah.

Kalau begitu, sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan
dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk
menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada
dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian.

Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak
berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu
bai'at itu belum disepakati, karena menurut
riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah r.a. bahwa
Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu
bai'at, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah
r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah
menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah
bahwa Rasulullah saw. menguji wanita-wanita
mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman
Allah:

"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa
mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan
Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina,
tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan
berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara
tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan mendurhakaimu
dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia
mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (al-Mumtahanah: 12)

Aisyah berkata, "Maka barangsiapa diantara
wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut,
Rasulullah saw. berkata kepadanya, "Aku telah
membai'atmu - dengan perkataan saja - dan demi Allah
tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan
wanita dalam bai'at itu; beliau tidak membai'at
mereka melainkan dengan mengucapkan, 'Aku telah
membai'atmu tentang hal itu.'" 4

Dalam mensyarah perkataan Aisyah "Tidak, demi Allah
...," al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari
sebagai berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk
menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu
seakan-akan Aisyah hendak menyangkal berita yang
diriwayatkan dari Ummu Athiyah. Menurut riwayat
Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu
Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari
neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah bai'at, Ummu
Athiyah berkata:

"Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar
rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah,
kemudian beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'"

Demikian pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits
yang tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan:

"Seorang wanita menahan tangannya"

Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai'at
dengan tangan mereka.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: "Untuk yang pertama
itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari
balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai'at
meskipun tidak sampai berjabat tangan... Adapun untuk
yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan
itu ialah menariknya sebelum bersentuhan... Atau
bai'at itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan.

Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi
bahwa Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau
membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau
meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata,

"Aku tidak berjabat dengan wanita."

Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi
saw. memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita
itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.

Ibnu Hajar berkata: "Dan boleh jadi berulang-ulang,
yakni peristiwa bai'at itu terjadi lebih dari
satu kali, diantaranya ialah bai'at yang terjadi di mana
beliau tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik
dengan menggunakan lapis maupun tidak, beliau membai'at
hanya dengan perkataan saja, dan inilah yang
diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain
beliau tidak berjabat tangan dengan wanita dengan
menggunakan lapis, dan inilah yang diriwayatkan
oleh asy-Sya'bi."

Diantaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang
disebutkan Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan kedalam
bejana. Dan ada lagi dalam bentuk seperti yang
ditunjukkan oleh perkataan Ummu Athiyah, yaitu berjabat
tangan secara langsung.

Diantara alasan yang memperkuat
kemungkinan berulang-ulangnya bai'at itu ialah bahwa
Aisyah membicarakan bai'at wanita-wanita mukminah
yang berhijrah setelah terjadinya peristiwa Perjanjian
Hudaibiyah, sedangkan Ummu Athiyah - secara lahiriah
- membicarakan yang lebih umum daripada itu dan meliputi
bai'at wanita mukminah secara umum, termasuk
didalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah si
perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari
memasukkan hadits Aisyah di bawah bab "Idzaa Jaa
aka al-Mu'minaat Muhaajiraat," sedangkan hadits Ummu
Athiyah dimasukkan dalam bab "Idzaa Jaa aka al-
Mu'minaat Yubaayi'naka."

Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang
dijadikan acuan oleh kebanyakan orang yang
mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan
perempuan - yaitu bahwa Nabi saw. tidak berjabat
tangan dengan wanita - belumlah disepakati. Tidak
seperti sangkaan orang-orang yang tidak merujuk kepada
sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan masih
diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan.

Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan
berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil
riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma'qil bin Yasar dari
Nabi saw., beliau bersabda:

"Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara
kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia
menyentuh wanita yang tidak halal baginya."5

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan
dengan pengambilan hadits di atas sebagai dalil:

1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara
jelas akan kesahihan hadits
tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan
al-Haitsami yang mengatakan,
"Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan
atau
perawi-perawi sahih."

Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk
menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada
kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha') atau
terdapat 'illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits
ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun
kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang
pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar
untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan
perempuan dan sebagainya.

2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah
mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan
kecuali dengan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran
padanya, seperti Al-Qur'anul Karim serta hadits-hadits
mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau
kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu
tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti
hadits-hadits ahad yang sahih. Maka bagaimana lagi dengan
hadits yang diragukan kesahihannya?

3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat
digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya
dapati petunjuknya tidak jelas. Kalimat "menyentuh kulit
wanita yang tidak halal baginya" itu tidak dimaksudkan
semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat,
sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan.
Bahkan kata-kata al-mass (massa - yamassu - mass:
menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar'iyah
seperti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua
pengertian, yaitu:

a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan
biologis (jima') sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam
menafsirkan firman Allah: "Laamastum an-Nisat" (Kamu
menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, "Lafal al-lams,
al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an dipakai sebagai
kiasan untuk jima' (hubungan seksual). Secara umum,
ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan kata al-mass
menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman
Allah yang diucapkan Maryam:

"Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum
pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun ..." (Ali
Imran:47)

"Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu
menyentuh mereka..." (al-Baqarah: 237)

Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw. mendekati
istri-istrinya tanpa menyentuhnya ....

b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan dibawah
kategori jima', seperti mencium, memeluk, merangkul, dan
lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima' (hubungan
seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf
dalam menafsirkan makna kata mulaamasah.

Al-Hakim mengatakan dalam "Kitab ath-Thaharah" dalam
al-Mustadrak 'al a ash-Shahihaini sebagai berikut :

Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan
hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang sahih
yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu
(tindakan) dibawah jima':

(1) Diantaranya hadits Abu Hurairah:

"Tangan, zinanya ialah menyentuh..."

(2) Hadits Ibnu Abbas:

"Barangkali engkau menyentuhnya...?"

(3) Hadits lbnu Mas'ud:

"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang
(pagi dan petang)..."6

Al-Hakim berkata, "Dan masih ada beberapa hadits sahih
pada mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan
lainnya ..." Kemudian al-Hakim menyebutkan diantaranya:

(4) Dari Aisyah, ia berkata:

"Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah
saw.
mengelilingi kami semua - yakni istri-istrinya -
lalu
beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya
dibawah
jima'. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang
waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di
situ."

(5) Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Au
laamastum
an-nisa" (atau kamu menyentuh wanita) ialah
tindakan
dibawah jima', dan untuk ini wajib wudhu."

(6) Dan dari Umar, ia berkata, "Sesungguhnya mencium
itu
termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah
karenanya."7

Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka
mazhab Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa
menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah
yang disertai dengan syahwat. Dan dengan
pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman
Allah, "au laamastum an-nisa'" (atau kamu menyentuh
wanita).

Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang
menafsirkan lafal "mulaamasah" atau "al-lams"
dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan
kulit walaupun tanpa syahwat.

Diantara yang beliau katakan mengenai masalah ini
seperti berikut:

Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan
menyentuh semata-mata (persentuhan kulit, tanpa
syahwat), maka hal ini bertentangan dengan ushul,
bertentangan dengan ijma' sahabat, bertentangan
dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang
berpendapat begitu.

Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah
(atau jika kamu menyentuh wanita ...) itu
dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau
mencium dan sebagainya - seperti yang dikatakan Ibnu
Umar dan lainnya - maka sudah dimengerti bahwa
ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah,
yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan bersyahwat,
seperti firman Allah dalam ayat i'tikaf:
"...Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu
sedang i'tikaf dalam masjid..." (al-Baqarah: 187)

Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i'tikaf
dengan tidak bersyahwat itu tidak diharamkan,
berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat.

Demikian pula firman Allah: "Jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh
mereka ..." (al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat
sebelumnya disebutkan: "Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu
sebelum kamu menyentuh mereka ..." (al-Baqarah: 236).

Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya
dengan sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak
wajib iddah dan tidak wajib membayar mahar secara
utuh serta tidak menjadikan mahram karena
persemendaan menurut kesepakatan ulama.

Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum
an-nisa' mencakup sentuhan biasa meskipun tidak
dengan bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari
bahasa Al-Qur'an, bahkan menyimpang dari bahasa
manusia sebagaimana yang sudah dikenal. Sebab, jika
disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi
dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa
yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat,
sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath'u (yang
asal artinya "menginjak") yang diikuti dengan kata-kata
laki-laki dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang
dimaksud ialah al-wath'u dengan kemaluan (yakni
bersetubuh), bukan menginjak dengan kaki."8

Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para
sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au
laamastum annisa'. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat
berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima'. dan mereka
berkata, "Allah itu Pemalu dan Maha Mulia. Ia
membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia
kehendaki."

Beliau berkata, "Ini yang lebih tepat diantara
kedua pendapat tersebut."Bangsa Arab dan Mawali juga
berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia
berarti jima' atau tindakan dibawah jima'. Bangsa Arab
mengatakan, yang dimaksud adalah jima'.
Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah
dimerdekakan) berkata: yang dimaksud ialah tindakan
di bawah jima' (pra-hubungan biologis). Lalu mereka
meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas
membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.9

Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui
bahwa kata-kata al-mass atau al-lams ketika
digunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah
dimaksudkan dengan semata-mata bersentuhan kulit
biasa, tetapi yang dimaksud ialah mungkin jima'
(hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium,
memeluk, dan sebagainya yang merupakan sentuhan
disertai syahwat dan kelezatan.

Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari
Rasulullah saw., niscaya kita jumpai sesuatu yang
menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara
laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat
dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah
terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw., sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi saw. itu
adalah tasyri' dan untuk diteladani:

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw. itu
suri teladan yang baik bagimu..." (al-Ahzab: 21)

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada
"Kitab al-Adab" dari Anas bin Malik r.a., ia berkata:

"Sesungguhnya seorang budak wanita diantara
budak-budak penduduk Madinah memegang tangan
Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia
suka."

Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:

"Sesungguhnya seorang budak perempuan dari
budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang
tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan
tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya
perg ke mana ia suka."

Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:

"Yang dimaksud dengan memegang tangan disini
ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan,
dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam
tawadhu', karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki,
dan disebutkannya budak bukan orang merdeka,
digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-imaa'
(budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang
mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa'at (kemana saja
ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan
dengan "mengambil/memegang tangannya" itu
menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun
si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah
dan dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi
keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya.

Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa
tawadhu'nya Rasulullah saw. dan betapa bersihnya
beliau dari sikap sombong."10

Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis
besar dapat diterima, tetapi eliau memalingkan makna
memegang tangan dari makna lahiriahnya kepada
kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan,
tidak dapat diterima, karena makna lahir dan
kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara
bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus
diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau
indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir.
Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor
yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu,
bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan "maka
beliau tidak melepaskan tangan beliau ari tangannya
sehingga ia membawa beliau pergi kemana saja ia suka"
menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang
dimaksud. Sungguh termasuk memberat- beratkan diri dan
perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini.

Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang
diriwayatkan dalam Shahihain dan kitab- kitab Sunan dari
Anas "bahwa Nabi saw. tidur siang hari di rumah bibi Anas
yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin
Shamit, dan beliau tidur di sisi Ummu Haram dengan
meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram,
dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu
..."

Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan,
"Hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di
rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi
persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman
dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri)
melayani tamu dengan menghidangkan makanan,
menyediakan keperluannya, dan sebagainya.

Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani
tamunya dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi
hal ini menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang.
Maka Ibnu Abdil Barr berkata, "Saya kira Ummu Haram itu
dahulunya menyusui Rasulullah saw. (waktu kecil),
atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga masing-masing
berkedudukan "sebagai ibu susuan" atau bibi susuan
bagi Rasulullah saw.. Karena itu, beliau tidur di sisinya,
dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang layak
dilakukan oleh mahram."

Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat
dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram
mempunyai hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan
bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek
Nabi, adalah dari Bani Najjar ...

Yang lain lagi berkata, "Nabi saw. itu maksum
(terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu
mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka
betapa lagi terhadap wanita lain mengenai hal-hal
yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci
dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan
kotor, dan ini termasuk kekhususan beliau."

Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi 'Iyadh
dengan argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat
ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat
kemungkinan. Tetapnya kemaksuman beliau memang
dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada
kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam semua
tindakan beliau, sehingga ada dalil yang
menunjukkan kekhususannya.

Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih
keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan
pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan
kemahraman antara Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau
berkata:

"Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai
salah seorang bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun
bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan
beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang
berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib,
yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin
Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram
adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin
Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak
bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam,
kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi
(yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini
adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi saw.
terhadap Sa'ad bin Abi Waqash, "Ini pamanku" karena Sa'ad
dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah,
sedangkan Sa'ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun
susuan."

Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, "Apabila sudah
tetap yang demikian, maka terdapat riwayat dalam
ash-Shahlh yang menceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah
masuk ke tempat wanita selain istri-istri beliau,
kecuali kepada Ummu Sulaim. Lalu beliau ditanya
mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, 'Saya kasihan
kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama
saya.' Yakni Haram bin Milhan, yang terbunuh pada
waktu peperangan Bi'r Ma'unah."

Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk
Ummu Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu
Haram tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara
dan hidup didalam satu rumah, sedangkan Haram bin
Milhan adalah saudara mereka berdua. Maka 'illat
(hukumnya) adalah sama diantara keduanya, sebagaimana
dikemukakan oleh Ibnu Hajar.

Dan ditambahkan pula kepada 'illat tersebut bahwa
Ummu Sulaim adalah ibu Anas, pelayan Nabi saw.,
sedangkan telah berlaku kebiasaan pergaulan antara
pelayan, yang dilayani, serta keluarganya, serta
ditiadakan kekhawatiran yang terjadi diantara
orang-orang luar.

Kemudian ad-Dimyati berkata, "Tetapi hadits itu
tidak menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi saw.
dengan Ummu Haram, kemungkinan pada waktu itu
disertai oleh anak, pembantu, suami, atau pendamping."

Ibnu Hajar berkata, "Ini merupakan kemungkinan yang
kuat, tetapi masih belum dapat menghilangkan
kemusykilan dari asalnya, karena masih adanya
mulamasah (persentuhan) dalam membersihkan kutu kepala,
demikian pula tidur di pangkuan."

Al-Hafizh berkata, "Sebaik-baik jawaban mengenai masalah
ini ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan
hal ini tidak dapat ditolak oleh keberadaanya yang tidak
ditetapkan kecuali dengan dalil, karena dalil
mengenai hal ini sudah jelas."11

Tetapi saya tidak tahu mana dalilnya ini,
samar-samar ataukah jelas?

Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka
yang mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata
bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati
sebab- sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan)
seperti yang terjadi antara Nabi saw. dengan Ummu
Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi
kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat
tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika
diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan
jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada
kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya,
seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi
baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri
paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu
setelah lama tidak berjumpa.

Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu
saya tekankan:

Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki
dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak
disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila
dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau
disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari
salah satunya (apa lagi keduanya; penj.) maka
keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi.

Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi -
yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah -
meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan
mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak
tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka
berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.
Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil
pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.

Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada
kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam
pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda
(besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab
diantara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada
orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi
syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi
saw. - tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan
bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita
lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan
yang erat).

Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah
- yang komitmen pada agamanya - ialah tidak memulai
berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila
diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.

Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh
orang yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan
agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui
tidak usah mengingkarinya selama masih ada
kemungkinan untuk berijtihad.

Wallahu a'lam.

Catatan kaki:

1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155.
2 Ibid., 4: 156-157
3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan
kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan
pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara
laki-laki dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa
anak si Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur'an
dan Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.)
4 HR Bukhari dalam sahihnya, dalam "Kitab Tafsir Surat
al-Mumtahanah," Bab "Idzaa Jaa'aka al-Mu'minaatu Muhaajiraat."
5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: "Perawi-perawi
Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi
yang sahih."
6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat
asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan
dalam ebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki
datang kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa dia telah
berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh
dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia
menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat
(yang artinya), "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi
siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk..." (Hud: 114) (HR
Muslim dengan lafal ini dalam "Kitab at-Taubah," nomor 40)
7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135.
8 Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid 21, hlm. 223-224.
9 Ibid.
10 Fathul Bari, juz 13.
11 Fathul Bari 13: 230-231. dengan beberapa perubahan
susunan redaksional

Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi

Tidak ada komentar: