Sabtu, 12 Juli 2008

KETIKA CINTA HARUS MEMILIH

Tidak semua perjalanan menuju ke jenjang pernikahan mulus,
awalnya ada perbedaan persepsi/pandangan antara keinginan anak dan
keinginan orang tua, sehingga tak jarang pernikahan yang akan diarungi
membutuhkan perjuangan. Bagaimana pernikahan itu dapat diwujudkan,
merupakan keputusan yang harus dipikirkan masak-masak oleh seorang muslimah
karena menyangkut aspek diri dan keluarganya.

Hal di atas bisa terjadi disebabkan sudut pandang antara anak
dan orang tua tidak sejalan, mungkin akibat pola asuh orang tua yang tidak
membiasakan keterbukaan sehingga anak tertutup, takut berkomunikasi
sehingga dirasakan enak untuk menyampaikan keinginan masing-masing,
kurangnya pengetahuan agama masing-masing pihak, dan lain-lain. Kita lihat
perbedaan pilihan keputusan dua orang akhwat di bawah ini dalam menyikapi
orang tuanya.

Nina (19 tahun), baru duduk di bangku awal kuliah. Ia memilih
memutuskan akan nikah diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua, mengikuti
ajakan teman kuliahnya. Mereka memperkirakan pernikahan tersebut pasti
ditentang orang tua karena masih sama-sama kuliah dan tergantung pada biaya
orang tua.

Lain lagi sikap Tia (23 tahun), masih kuliah semester akhir.
Walaupun ia ingin mewujudkan keingnannya untuk menikah, ia merasa harus
bersikap lebih adaptif dengan orang tua. Masih mencoba untuk menyampaikan
pandangannya tentang status/kemampuan calonnya. Ia tidak ingin terburu-buru
mengambil keputusan tanpa mencoba terlebih dahulu terbuka pada orang tua
dengan menyampaikan sebijak mungkin dan dengan segala sikap hormat.

Ada masa pendekatan kepada orang tua, sambil mengisinya dengan
instropeksi diri serta mencari celah dalam mencari jalan keluarnya agar
terwujud niat nikah untuk ibadah sekaligus berbakti kepada orang tua.
Sehingga semuanya akan bernilai ibadah. Tertundanya pernikahan dapat
digunakan untuk instropeksi kesiapan masing-masing calon. Ikhlas menunda
pernikahan untuk menunggu restu orang tua sampai selesai kuliah sambil
menghindari perzinahan, tampaknya merupakan pilihan yang tepat.

Bakti Kepada Orang Tua

Sadarilah, keputusan apaun yang Anda tempuh, akan terdapat
risiko di dalamnya. Al Qur'an dan sunnah telah menggariskan bahwa setiap
anak harus selalu berbakti kepada orang tua, apapun kondisi dan hubungannya
dengan mereka. Betapa tingginya kedudukan orang tua di hadapan Allah. Allah
menjadikan berbuat baik (ihsana) kepada keduanya setelah kedudukan iman dan
beribadah kepada-Nya. "Sembahlah Allah dan janganlah kalian
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada orang
tua..." (QS. An Nisa : 36).

Al Qur'an menggunakan kata ihsana sebanyak lima kali dalam
konteks berbakti kepada orang tua, QS. Al Baqarah [2] : 83, An Nisa [4] :
36, Al An'am [6] : 151, Al Isra [17] :23 dan Al Ahqaf [46] : 15 dan
menggunakan kata husn sekali dalam QS. Al Ankabut [29] : 8 untuk
menggambarkan kewajiban anak kepada ibu bapaknya. Kata husn mencakup segala
sesuatu yang menggembirakan dan disenangi . Dirumuskan oleh pakar kosakata,
Al Raghib Al Asfahani, ihsaan memperlakukannya (orang tua) lebih baik dari
perlakuannya terhadap Anda, memberi lebih banyak daripada yang harus Anda
beri dan mengambil lebih sedikit daripada yang seharusnya Anda ambil.

Kemudian seorang anak dituntut untuk berbicara kepada orang
tuanya dengan kata-kata yang oleh Al Qur'an dinamai 'karima'. "Wa
qullahumaa qaulan karima' (QS. Al Isra [17] : 23). Menurut pakar-pakar
bahasa, kata ini mengandung makna yang mulia (terbaik sesuai objeknya).
Bila karima dikaitkan dengan akhlak terhadap orang lain, maka ia bermakna
pemaafan.

Segala macam yang terbaik dan termulia harus menghiasi setiap
kata yang diucapkan kepada orang tua. Kalaupun seandainya orang tua
melakukan suatu kesalahan kepada anak, kesalahan itu harus dianggap tidak
ada dan dimaafkan, karena tidak ada orang tua yang bermaksud buruk kepada
anaknya. Demikian makna karima yang dipesankan ketika seorang anak
menyampaikan sesuatu kepada orang tuanya.

Aturan Nikah

Pernikahan harus segera dilaksanakan apabila takut tergelincir
pada perzinahan sambil tetap mewujudkan harapan orang tua (menyelesaikan
kuliah) agar orang tua tidak kecewa. Caranya, minimal anak terikat hukum
agama terlebih dahulu lewat pernikahan. Yang perlu diperhatikan, jangan
sampai kedua-duanya terhambat atau berantakan (baik kuliah ataupun nikah).

Alternatif lainnya adalah seperti yang disabdakan Rasulullah
SAW, "Hai golongan pemuda, barangsiapa di antara kamu ada yang mampu
menikah (untuk membelanjai), hendaklah ia menikah, karena itu akan lebih
menjaga pandangan dan akan lebih memelihara kemaluan, dan barangsiapa belum
mampu kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat
benteng/perisai". (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim).

Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga pergaulan,
jangan sampai mendekati perzinahan (QS. Al Isra : 32), yaitu dengan menjaga
pandangan, menjaga fariji, menjaga aurat, (QS. An Nur [24] : 30 - 31),
tidak bersentuhan dengan yang bukan muhrim (HR. Bukhari), tidak
berkhalwat/berdua-duaan (HR. Ahmad), tidak bepergian kecuali dengan
muhrimnya (HR. Bukhari dan muslim).

Orang tua akan merasa sedih bila tidak mengetahui anaknya
menikah. Anak perlu menghargai perjuangan orang tua yang telah belasan
tahun membesarkan, membiayai kuliah, dan lain-lain. Sangat disayangkan bila
pernikahan yang bertujuan positif yaitu untuk menghindari zina, tapi
berdampak durhaka kepada orang tua.

Beban mental pasti akan dirasakan oleh pasangan yang tidak
mendapat restu dari orang tua. Misalkan pada saat susahnya melahirkan anak,
akan tergambar dalam benak seorang anak tentang perjuangan ibunya dahulu,
"Ibunya telah mengandungnya dalam keadaa nlemah yang bertambah-tambah dan
meyapihnya dalam dua tahun". (QS. Luqman [31] :14). Ternyata, betapa
panjang dan banyaknya pengorbanan sebagai orang tua.

Mengenai menikah diam-diam tanpa dihadiri wali yang sah dari
seorang muslimah, Islam menggariskan sejumlah ketentuan berikut :

Seorang wanita tentunya akan dinikahkan oleh walinya
sebagaimana keterangan hadits "Dari Abu Musa, sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda : "Tidak sah nikah tanpa wali". (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi,
Ibnu Hibban, dan Hakim serta dishahihkan oleh keduanya). Hadits ini secara
tegas mengatakan bahwa pernikahan yang dilakukan tanpa wali tidak sah.
Adapun syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal sehat, dewasa/baligh, dan
beragama Islam.

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kaum wanita tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri atau orang lain. Jadi, pernikahan yang diwalikan
oleh wanita sendiri adalah tidak sah. Firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu
nikahkan wanita-wanita mukminat dengan pria-pria musrik sebelum mereka
beriman". (QS. Al Baqarah [2] : 2210. Kandungan ayat tersebut adalah bahwa
Allah menyerahkan perkara pernikahan kepada pihak pria dan bukan kepada
kaum wanita.

Siapakah wali itu? Jumhur ulama seperti Malik, Tsauri, Laits,
dan Syafi'i, berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah ahli waris dari
jalur ayah. Syafi'i berkata, "Nikah seorang wanita tidak dapat dilakukan,
kecuali dengan pernyataan wali qarib (dekat). Jika ia tidak ada, dengan
wali yang jauh. Dan jika tidak ada, dengan hakim.

Urutan wali menurut Syafi'i, sebagai berikut : Ayah, kemudian
kakek, kemudian saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki
ayah (paman), kemudian anak laki-laki paman, kemudian anak laki-laki dari
saudara laki-laki, kemudian hakim.

Akhirnya, yakinlah bahwa niat yang baik dan ditempuh dengan
jalan/metode yang benar sesuai aturan Al Qur'an dan sunnah, akan membuahkan
hasil berupa dimudahkannya pernikahan Anda atas ridha-Nya. "... Siapa yang
bertaqwa kepada Allah, Allah akan memberinya jalan keluar dari
kesulitannya, dan memberinya rizki dari arah yang tidak diduga. Barangsiapa
yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan
dalam urusannya..." (QS. Ath Thalaq [65] : 2 - 3). Wallahu A'lam Bishshawab.***

(Sumber : Majalah Percikan Iman No. 9 Th. II September 2001)

Tidak ada komentar: