Selasa, 29 Juli 2008

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN
Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah
barang tentu juga dihadapi orang lain, yaitu
masalah berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita,
khususnya terhadap kerabat yang bukan mahram saya,
seperti anak paman atau anak bibi, atau istri saudara ayah
atau istri saudara ibu, atau saudara wanita istri
saya, atau wanita-wanita lainnya yang ada hubungan
kekerabatan atau persemendaan dengan saya.
Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang
dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau
umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para
kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas
menemuinya dan bertahni'ah (mengucapkan selamat
atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan
yang lain.

Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur'an atau
As-Sunnah yang mengharamkan berjabat tangan antara
laki-laki dengan wanita, sementara sudah saya sebutkan
banyak motivasi kemasyarakatan atau kekeluargaan yang
melatarinya, disamping ada rasa saling percaya. aman dari
fitnah, dan jauh dari rangsangan syahwat. Sedangkan
kalau kita tidak mau berjabat tangan, maka mereka
memandang kita orang-orang beragama ini kuno dan
terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu
berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.

Apabila ada dalil syar'inya, maka kami akan
menghormatinya dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada
yang kami lakukan kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai
konsekuensi keimanan kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan
jika hanya semata-mata hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita
terdahulu, maka adakalanya fuqaha-fuqaha kita
sekarang boleh berbeda pendapat dengannya, apabila
mereka mempunyai ijtihad yang benar, dengan
didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa
berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.

Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz
dengan harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke
akar-akarnya berdasarkan Al-Qur'anul Karim dan
Al-Hadits asy-Syarif. Kalau ada dalil yang melarang
sudah tentu kami akan berhenti; tetapi jika dalam hal
ini terdapat kelapangan, maka kami tidak
mempersempit kelapangan-kelapangan yang diberikan Allah
kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan dan bisa
menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi.

Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak
itu tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya
ini, sebab - sebagaimana saya katakan di muka -
persoalan ini bukan persoalan saya seorang, tetapi
mungkin persoalan berjuta-juta orang seperti saya.

Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab,
dan memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik
masalah, dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz
bermanfaat.

JAWABAN

Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya
bahwa masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki
dengan perempuan - yang saudara tanyakan itu -
merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menahkik
hukumnya tidak bisa dilakukan dengan seenaknya. Ia
memerlukan kesungguhan dan pemikiran yang optimal dan
ilmiah sehingga si mufti harus bebas dari tekanan
pikiran orang lain atau pikiran yang telah diwarisi
dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati acuannya
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sehingga
argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan
untuk memperoleh pendapat yang lebih kuat dan
lebih mendekati kebenaran menurut pandangan seorang
faqih, yang didalam pembahasannya hanya mencari
ridha Allah, bukan memperturutkan hawa nafsu.

Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya
ingin mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan
perbedaan pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum
kedua gambaran itu tidak diperselisihkan oleh
fuqaha-fuqaha terdahulu, menurut pengetahuan saya. Kedua
gambaran itu ialah:

Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita
apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz
(berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau
wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang
tentu lebih terlarang lagi; penj.) atau dibelakang itu
dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang
kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa
menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib,
lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan
tersedia sarananya.

Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para
ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki
dengannya - yang pada asalnya mubah itu - bisa berubah
menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau
dikhawatirkan terjadinya fitnah,1 khususnya dengan anak
perempuan si istri (anak tiri), atau saudara
sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu
tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak
kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau
ibu, dan sebagainya.

Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan
dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap
laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang
belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena
berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab
fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak
punya gairah terhadap wanita.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a.
bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang
wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu
wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu
mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan
kepalanya dari kutu.2

Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur'an dalam
membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti
(dari haid dan mengandung), dan tiada gairah
terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam
beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang
lain:

"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari
haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi),
tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian
mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan,
dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (an-Nur: 60)

Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki
gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum
muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari
sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah
dalam hal menampakkan perhiasannya.

"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra
saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,
atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31)

Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi
tema pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan
pengkajian dan tahkik.

Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh
tubuhnya hingga wajah dan telapak tangannya, dan
tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang
dikecualikan oleh ayat:

"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya
kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa
tampak itu adalah pakaian luar seperti baju panjang,
mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena
darurat seperti tersingkap karena ditiup angin kencang
dan sebagainya. Maka tidak mengherankan lagi bahwa
berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut
mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak
tangan itu wajib ditutup maka melihatnya adalah
haram; dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi
menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat
daripada melihat, karena ia lebih merangsang,
sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.

Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat
demikian adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas
fuqaha dari kalangan sahabat, tabi'in, dan
orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang
dikecualikan dalam ayat "kecuali yang biasa tampak
daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak) tangan.

Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat
tangan yang tidak disertai syahwat?

Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang
memuaskan yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi
tidak saya temukan.

Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu
fitnah (saddudz-dzari'ah), dan alasan ini dapat
diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat
tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak
tanda-tandanya. Tetapi dalam kondisi aman - dan ini
sering terjadi - maka dimanakah letak keharamannya?

Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw.
yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika
beliau membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang
terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat
al-Mumtahanah.

Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi
saw. meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak
menunjukkan - secara pasti - akan keharamannya.
Adakalanya beliau meninggalkan sesuatu karena haram,
adakalanya karena makruh, adakalanya hal itu kurang
utama, dan adakalanya hanya semata-mata karena beliau
tidak berhasrat kepadanya, seperti beliau tidak memakan
daging biawak padahal daging itu mubah.

Kalau begitu, sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan
dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk
menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada
dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian.

Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak
berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu
bai'at itu belum disepakati, karena menurut
riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah r.a. bahwa
Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu
bai'at, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah
r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah
menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah
bahwa Rasulullah saw. menguji wanita-wanita
mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman
Allah:

"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa
mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan
Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina,
tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan
berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara
tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan mendurhakaimu
dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia
mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (al-Mumtahanah: 12)

Aisyah berkata, "Maka barangsiapa diantara
wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut,
Rasulullah saw. berkata kepadanya, "Aku telah
membai'atmu - dengan perkataan saja - dan demi Allah
tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan
wanita dalam bai'at itu; beliau tidak membai'at
mereka melainkan dengan mengucapkan, 'Aku telah
membai'atmu tentang hal itu.'" 4

Dalam mensyarah perkataan Aisyah "Tidak, demi Allah
...," al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari
sebagai berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk
menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu
seakan-akan Aisyah hendak menyangkal berita yang
diriwayatkan dari Ummu Athiyah. Menurut riwayat
Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu
Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari
neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah bai'at, Ummu
Athiyah berkata:

"Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar
rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah,
kemudian beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'"

Demikian pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits
yang tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan:

"Seorang wanita menahan tangannya"

Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai'at
dengan tangan mereka.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: "Untuk yang pertama
itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari
balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai'at
meskipun tidak sampai berjabat tangan... Adapun untuk
yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan
itu ialah menariknya sebelum bersentuhan... Atau
bai'at itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan.

Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi
bahwa Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau
membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau
meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata,

"Aku tidak berjabat dengan wanita."

Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi
saw. memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita
itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.

Ibnu Hajar berkata: "Dan boleh jadi berulang-ulang,
yakni peristiwa bai'at itu terjadi lebih dari
satu kali, diantaranya ialah bai'at yang terjadi di mana
beliau tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik
dengan menggunakan lapis maupun tidak, beliau membai'at
hanya dengan perkataan saja, dan inilah yang
diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain
beliau tidak berjabat tangan dengan wanita dengan
menggunakan lapis, dan inilah yang diriwayatkan
oleh asy-Sya'bi."

Diantaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang
disebutkan Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan kedalam
bejana. Dan ada lagi dalam bentuk seperti yang
ditunjukkan oleh perkataan Ummu Athiyah, yaitu berjabat
tangan secara langsung.

Diantara alasan yang memperkuat
kemungkinan berulang-ulangnya bai'at itu ialah bahwa
Aisyah membicarakan bai'at wanita-wanita mukminah
yang berhijrah setelah terjadinya peristiwa Perjanjian
Hudaibiyah, sedangkan Ummu Athiyah - secara lahiriah
- membicarakan yang lebih umum daripada itu dan meliputi
bai'at wanita mukminah secara umum, termasuk
didalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah si
perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari
memasukkan hadits Aisyah di bawah bab "Idzaa Jaa
aka al-Mu'minaat Muhaajiraat," sedangkan hadits Ummu
Athiyah dimasukkan dalam bab "Idzaa Jaa aka al-
Mu'minaat Yubaayi'naka."

Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang
dijadikan acuan oleh kebanyakan orang yang
mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan
perempuan - yaitu bahwa Nabi saw. tidak berjabat
tangan dengan wanita - belumlah disepakati. Tidak
seperti sangkaan orang-orang yang tidak merujuk kepada
sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan masih
diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan.

Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan
berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil
riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma'qil bin Yasar dari
Nabi saw., beliau bersabda:

"Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara
kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia
menyentuh wanita yang tidak halal baginya."5

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan
dengan pengambilan hadits di atas sebagai dalil:

1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara
jelas akan kesahihan hadits
tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan
al-Haitsami yang mengatakan,
"Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan
atau
perawi-perawi sahih."

Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk
menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada
kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha') atau
terdapat 'illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits
ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun
kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang
pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar
untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan
perempuan dan sebagainya.

2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah
mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan
kecuali dengan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran
padanya, seperti Al-Qur'anul Karim serta hadits-hadits
mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau
kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu
tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti
hadits-hadits ahad yang sahih. Maka bagaimana lagi dengan
hadits yang diragukan kesahihannya?

3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat
digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya
dapati petunjuknya tidak jelas. Kalimat "menyentuh kulit
wanita yang tidak halal baginya" itu tidak dimaksudkan
semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat,
sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan.
Bahkan kata-kata al-mass (massa - yamassu - mass:
menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar'iyah
seperti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua
pengertian, yaitu:

a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan
biologis (jima') sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam
menafsirkan firman Allah: "Laamastum an-Nisat" (Kamu
menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, "Lafal al-lams,
al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an dipakai sebagai
kiasan untuk jima' (hubungan seksual). Secara umum,
ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan kata al-mass
menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman
Allah yang diucapkan Maryam:

"Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum
pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun ..." (Ali
Imran:47)

"Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu
menyentuh mereka..." (al-Baqarah: 237)

Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw. mendekati
istri-istrinya tanpa menyentuhnya ....

b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan dibawah
kategori jima', seperti mencium, memeluk, merangkul, dan
lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima' (hubungan
seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf
dalam menafsirkan makna kata mulaamasah.

Al-Hakim mengatakan dalam "Kitab ath-Thaharah" dalam
al-Mustadrak 'al a ash-Shahihaini sebagai berikut :

Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan
hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang sahih
yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu
(tindakan) dibawah jima':

(1) Diantaranya hadits Abu Hurairah:

"Tangan, zinanya ialah menyentuh..."

(2) Hadits Ibnu Abbas:

"Barangkali engkau menyentuhnya...?"

(3) Hadits lbnu Mas'ud:

"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang
(pagi dan petang)..."6

Al-Hakim berkata, "Dan masih ada beberapa hadits sahih
pada mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan
lainnya ..." Kemudian al-Hakim menyebutkan diantaranya:

(4) Dari Aisyah, ia berkata:

"Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah
saw.
mengelilingi kami semua - yakni istri-istrinya -
lalu
beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya
dibawah
jima'. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang
waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di
situ."

(5) Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Au
laamastum
an-nisa" (atau kamu menyentuh wanita) ialah
tindakan
dibawah jima', dan untuk ini wajib wudhu."

(6) Dan dari Umar, ia berkata, "Sesungguhnya mencium
itu
termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah
karenanya."7

Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka
mazhab Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa
menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah
yang disertai dengan syahwat. Dan dengan
pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman
Allah, "au laamastum an-nisa'" (atau kamu menyentuh
wanita).

Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang
menafsirkan lafal "mulaamasah" atau "al-lams"
dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan
kulit walaupun tanpa syahwat.

Diantara yang beliau katakan mengenai masalah ini
seperti berikut:

Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan
menyentuh semata-mata (persentuhan kulit, tanpa
syahwat), maka hal ini bertentangan dengan ushul,
bertentangan dengan ijma' sahabat, bertentangan
dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang
berpendapat begitu.

Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah
(atau jika kamu menyentuh wanita ...) itu
dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau
mencium dan sebagainya - seperti yang dikatakan Ibnu
Umar dan lainnya - maka sudah dimengerti bahwa
ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah,
yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan bersyahwat,
seperti firman Allah dalam ayat i'tikaf:
"...Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu
sedang i'tikaf dalam masjid..." (al-Baqarah: 187)

Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i'tikaf
dengan tidak bersyahwat itu tidak diharamkan,
berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat.

Demikian pula firman Allah: "Jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh
mereka ..." (al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat
sebelumnya disebutkan: "Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu
sebelum kamu menyentuh mereka ..." (al-Baqarah: 236).

Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya
dengan sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak
wajib iddah dan tidak wajib membayar mahar secara
utuh serta tidak menjadikan mahram karena
persemendaan menurut kesepakatan ulama.

Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum
an-nisa' mencakup sentuhan biasa meskipun tidak
dengan bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari
bahasa Al-Qur'an, bahkan menyimpang dari bahasa
manusia sebagaimana yang sudah dikenal. Sebab, jika
disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi
dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa
yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat,
sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath'u (yang
asal artinya "menginjak") yang diikuti dengan kata-kata
laki-laki dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang
dimaksud ialah al-wath'u dengan kemaluan (yakni
bersetubuh), bukan menginjak dengan kaki."8

Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para
sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au
laamastum annisa'. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat
berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima'. dan mereka
berkata, "Allah itu Pemalu dan Maha Mulia. Ia
membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia
kehendaki."

Beliau berkata, "Ini yang lebih tepat diantara
kedua pendapat tersebut."Bangsa Arab dan Mawali juga
berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia
berarti jima' atau tindakan dibawah jima'. Bangsa Arab
mengatakan, yang dimaksud adalah jima'.
Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah
dimerdekakan) berkata: yang dimaksud ialah tindakan
di bawah jima' (pra-hubungan biologis). Lalu mereka
meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas
membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.9

Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui
bahwa kata-kata al-mass atau al-lams ketika
digunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah
dimaksudkan dengan semata-mata bersentuhan kulit
biasa, tetapi yang dimaksud ialah mungkin jima'
(hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium,
memeluk, dan sebagainya yang merupakan sentuhan
disertai syahwat dan kelezatan.

Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari
Rasulullah saw., niscaya kita jumpai sesuatu yang
menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara
laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat
dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah
terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw., sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi saw. itu
adalah tasyri' dan untuk diteladani:

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw. itu
suri teladan yang baik bagimu..." (al-Ahzab: 21)

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada
"Kitab al-Adab" dari Anas bin Malik r.a., ia berkata:

"Sesungguhnya seorang budak wanita diantara
budak-budak penduduk Madinah memegang tangan
Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia
suka."

Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:

"Sesungguhnya seorang budak perempuan dari
budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang
tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan
tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya
perg ke mana ia suka."

Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:

"Yang dimaksud dengan memegang tangan disini
ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan,
dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam
tawadhu', karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki,
dan disebutkannya budak bukan orang merdeka,
digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-imaa'
(budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang
mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa'at (kemana saja
ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan
dengan "mengambil/memegang tangannya" itu
menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun
si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah
dan dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi
keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya.

Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa
tawadhu'nya Rasulullah saw. dan betapa bersihnya
beliau dari sikap sombong."10

Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis
besar dapat diterima, tetapi eliau memalingkan makna
memegang tangan dari makna lahiriahnya kepada
kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan,
tidak dapat diterima, karena makna lahir dan
kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara
bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus
diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau
indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir.
Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor
yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu,
bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan "maka
beliau tidak melepaskan tangan beliau ari tangannya
sehingga ia membawa beliau pergi kemana saja ia suka"
menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang
dimaksud. Sungguh termasuk memberat- beratkan diri dan
perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini.

Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang
diriwayatkan dalam Shahihain dan kitab- kitab Sunan dari
Anas "bahwa Nabi saw. tidur siang hari di rumah bibi Anas
yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin
Shamit, dan beliau tidur di sisi Ummu Haram dengan
meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram,
dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu
..."

Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan,
"Hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di
rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi
persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman
dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri)
melayani tamu dengan menghidangkan makanan,
menyediakan keperluannya, dan sebagainya.

Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani
tamunya dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi
hal ini menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang.
Maka Ibnu Abdil Barr berkata, "Saya kira Ummu Haram itu
dahulunya menyusui Rasulullah saw. (waktu kecil),
atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga masing-masing
berkedudukan "sebagai ibu susuan" atau bibi susuan
bagi Rasulullah saw.. Karena itu, beliau tidur di sisinya,
dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang layak
dilakukan oleh mahram."

Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat
dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram
mempunyai hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan
bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek
Nabi, adalah dari Bani Najjar ...

Yang lain lagi berkata, "Nabi saw. itu maksum
(terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu
mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka
betapa lagi terhadap wanita lain mengenai hal-hal
yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci
dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan
kotor, dan ini termasuk kekhususan beliau."

Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi 'Iyadh
dengan argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat
ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat
kemungkinan. Tetapnya kemaksuman beliau memang
dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada
kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam semua
tindakan beliau, sehingga ada dalil yang
menunjukkan kekhususannya.

Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih
keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan
pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan
kemahraman antara Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau
berkata:

"Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai
salah seorang bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun
bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan
beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang
berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib,
yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin
Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram
adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin
Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak
bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam,
kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi
(yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini
adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi saw.
terhadap Sa'ad bin Abi Waqash, "Ini pamanku" karena Sa'ad
dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah,
sedangkan Sa'ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun
susuan."

Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, "Apabila sudah
tetap yang demikian, maka terdapat riwayat dalam
ash-Shahlh yang menceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah
masuk ke tempat wanita selain istri-istri beliau,
kecuali kepada Ummu Sulaim. Lalu beliau ditanya
mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, 'Saya kasihan
kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama
saya.' Yakni Haram bin Milhan, yang terbunuh pada
waktu peperangan Bi'r Ma'unah."

Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk
Ummu Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu
Haram tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara
dan hidup didalam satu rumah, sedangkan Haram bin
Milhan adalah saudara mereka berdua. Maka 'illat
(hukumnya) adalah sama diantara keduanya, sebagaimana
dikemukakan oleh Ibnu Hajar.

Dan ditambahkan pula kepada 'illat tersebut bahwa
Ummu Sulaim adalah ibu Anas, pelayan Nabi saw.,
sedangkan telah berlaku kebiasaan pergaulan antara
pelayan, yang dilayani, serta keluarganya, serta
ditiadakan kekhawatiran yang terjadi diantara
orang-orang luar.

Kemudian ad-Dimyati berkata, "Tetapi hadits itu
tidak menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi saw.
dengan Ummu Haram, kemungkinan pada waktu itu
disertai oleh anak, pembantu, suami, atau pendamping."

Ibnu Hajar berkata, "Ini merupakan kemungkinan yang
kuat, tetapi masih belum dapat menghilangkan
kemusykilan dari asalnya, karena masih adanya
mulamasah (persentuhan) dalam membersihkan kutu kepala,
demikian pula tidur di pangkuan."

Al-Hafizh berkata, "Sebaik-baik jawaban mengenai masalah
ini ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan
hal ini tidak dapat ditolak oleh keberadaanya yang tidak
ditetapkan kecuali dengan dalil, karena dalil
mengenai hal ini sudah jelas."11

Tetapi saya tidak tahu mana dalilnya ini,
samar-samar ataukah jelas?

Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka
yang mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata
bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati
sebab- sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan)
seperti yang terjadi antara Nabi saw. dengan Ummu
Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi
kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat
tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika
diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan
jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada
kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya,
seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi
baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri
paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu
setelah lama tidak berjumpa.

Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu
saya tekankan:

Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki
dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak
disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila
dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau
disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari
salah satunya (apa lagi keduanya; penj.) maka
keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi.

Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi -
yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah -
meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan
mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak
tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka
berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.
Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil
pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.

Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada
kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam
pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda
(besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab
diantara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada
orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi
syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi
saw. - tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan
bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita
lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan
yang erat).

Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah
- yang komitmen pada agamanya - ialah tidak memulai
berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila
diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.

Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh
orang yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan
agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui
tidak usah mengingkarinya selama masih ada
kemungkinan untuk berijtihad.

Wallahu a'lam.

Catatan kaki:

1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155.
2 Ibid., 4: 156-157
3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan
kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan
pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara
laki-laki dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa
anak si Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur'an
dan Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.)
4 HR Bukhari dalam sahihnya, dalam "Kitab Tafsir Surat
al-Mumtahanah," Bab "Idzaa Jaa'aka al-Mu'minaatu Muhaajiraat."
5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: "Perawi-perawi
Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi
yang sahih."
6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat
asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan
dalam ebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki
datang kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa dia telah
berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh
dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia
menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat
(yang artinya), "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi
siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk..." (Hud: 114) (HR
Muslim dengan lafal ini dalam "Kitab at-Taubah," nomor 40)
7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135.
8 Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid 21, hlm. 223-224.
9 Ibid.
10 Fathul Bari, juz 13.
11 Fathul Bari 13: 230-231. dengan beberapa perubahan
susunan redaksional

Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi

Cinta yang Sederhana

"De'... de'... Selamat Ulang Tahun..." bisik seraut wajah tampan tepat di
hadapanku. "Hmm..." aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata
dan tidur kembali setelah menunggu sekian detik tak ada kata-kata lain yang
terlontar dari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di hadapanku.

Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun. Ulang tahun pertama sejak
pernikahan kami lima bulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun
aku cuma diam, kecewa. Tak ada kado, tak ada black forest mini, tak ada
setangkai mawar seperti mimpiku semalam. Malas aku beranjak ke kamar mandi.
Shalat Subuh kami berdua seperti biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku,
dan selalu ia mengecup kening, pipi, terakhir bibirku. Setelah itu diam.
Tiba-tiba hari ini aku merasa bukan apa-apa, padahal ini hari
istimewaku. Orang yang aku harapkan akan memperlakukanku seperti
putri hari ini
cuma memandangku.

Alat shalat kubereskan dan aku kembali berbaring di kasur tanpa
dipanku. Memejamkan mata, menghibur diri, dan mengucapkan. Happy Birthday
to Me... Happy Birthday to Me.... Bisik hatiku perih. Tiba-tiba aku
terisak. Entah
mengapa. Aku sedih di hari ulang tahunku. Kini aku sudah menikah.
Terbayang bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku berhak punya
suami yang mapan, yang bisa mengantarku ke mana-mana dengan kendaraan.
Bisa membelikan blackforest, bisa membelikan aku gamis saat aku hamil
begini, bisa
mengajakku menginap di sebuah resor di malam dan hari ulang
tahunku.
Bukannya aku yang harus sering keluar uang untuk segala kebutuhan
sehari-hari, karena memang penghasilanku lebih besar. Sampai kapan
aku mesti
bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku.

"De... Ade kenapa?" tanya suamiku dengan nada bingung dan khawatir.

Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu membuka mata. Matanya
tepat menancap di mataku. Di tangannya tergenggam sebuah bungkusan
warna merah jambu. Ada tatapan rasa bersalah dan malu di matanya. Sementara
bungkusan itu enggan disodorkannya kepadaku.

"Selamat ulang tahun ya De'..." bisiknya lirih. "Sebenernya aku mau
bangunin kamu semalam, dan ngasih kado ini... tapi kamu capek banget ya?
Ucapnya takut-takut.

Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah
jambu itu. Dari mana dia belajar membukus kado seperti ini? Batinku
sedikit terhibur.
Aku buka perlahan bungkusnya sambil menatap lekat matanya. Ada air
yang menggenang.

"Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini. Nnnng... Nggak bagus ya de?"
ucapnya terbata. Matanya dihujamkan ke lantai.

Kubuka secarik kartu kecil putih manis dengan bunga pink dan ungu
warna favoritku. Sebuah tas selempang abu-abu bergambar Mickey
mengajakku tersenyum. Segala kesahku akan sedikitnya nafkah yang diberikannya
menguap entah ke mana. Tiba-tiba aku malu, betapa tak bersyukurnya aku.

"Jelek ya de'? Maaf ya de'... aku nggak bisa ngasih apa-apa.... Aku
belum bisa nafkahin kamu sepenuhnya. Maafin aku ya de'..." desahnya.

Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan siangnya untuk tas ini.
Kupeluk dia dan tangisku meledak di pelukannya. Aku rasakan tetesan air
matanya juga membasahi pundakku. Kuhadapkan wajahnya di hadapanku. Masih
dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi... mengapa sepicik itu
pikiranku? Yang
menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya karuniamu masih aku
pertanyakan.

"A' lihat aku...," pintaku padanya. Ia menatapku lekat. Aku melihat
telaga bening di matanya. Sejuk dan menenteramkan. Aku tahu ia begitu
menyayangi aku, tapi keterbatasan dirinya menyeret dayanya untuk
membahagiakan aku. Tercekat aku menatap pancaran kasih dan ketulusan
itu. "Tahu
nggak... kamu ngasih aku banyaaaak banget," bisikku di antara isakan.
"Kamu ngasih
aku seorang suami yang sayang sama istrinya, yang perhatian. Kamu
ngasih aku kesempatan untuk meraih surga-Nya. Kamu ngasih aku dede',"
senyumku sambil mengelus perutku. "Kamu ngasih aku sebuah keluarga yang sayang
sama aku, kamu ngasih aku mama...." bisikku dalam cekat.

Terbayang wajah mama mertuaku yang perhatiannya setengah mati
padaku, melebihi keluargaku sendiri. "Kamu yang selalu nelfon aku setiap jam
istirahat, yang lain mana ada suaminya yang selalu telepon setiap
siang," isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudian tangisnya semakin kencang
di pelukanku.

Rabbana... mungkin Engkau belum memberikan kami karunia yang
nampak dilihat mata, tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah aku
alami bersama
suamiku tak dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku akan sebuah rumah
pribadi, kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke,
fasilitas-fasilitas. Harta yang hanya
terasa dalam hitungan waktu dunia. Mengapa aku masih bertanya.
Mengapa keberadaan dia di sisiku masih aku nafikan nilainya. Akan aku nilai apa
ketulusannya atas apa saja yang ia berikan untukku? Hanya dengan
keluhan?

Teringat lagi puisi pemberiannya saat kami baru menikah... Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana...


Original Sender: Firson Joko Raharjo

Rasa Sayang Itu Selalu Ada

"Ayah..., sakit!!!" teriaknya sambil mencoba berontak
ketika sebuah alat dimasukkan ke dalam lubang
telinganya. Namun dengan sigap sepasang tangan
memeluknya erat. Tangan itu kokoh dan kuat, terlihat
dari urat-urat yang menonjol jelas. Anak kecil itu
kembali meronta kesakitan, namun apalah arti tenaganya
dibandingkan dengan sepasang tangan mantan pemain
rugby tersebut.

Lelaki itu memang terlihat tegar sambil memangku dan
mendekap anaknya. Perawakan tinggi besar dan kulitnya
yang hitam semakin menampilkan sosok yang sangar.
Penampilannya kian sempurna dengan sikap keras yang ia
tunjukkan terhadap anak-anaknya. Ancaman lecutan kayu
kecil, ataupun hardikan bernada marah adalah suatu hal
yang biasa terlontarkan.

Namun tak urung teriakan kesakitan dari buah hatinya
itu menciptakan riak kecil di telaga matanya yang
tajam. Jeritan seorang anak laki-laki yang biasanya
bergerak lincah, namun sekarang terlihat menderita.
Mata sayu menghiasi air muka yang pucat, bibir yang
pecah-pecah karena dehidrasi serta ingus yang telah
bercampur darah tampak jelas meleleh dari hidungnya.

Serangan virus influenza yang sudah parah dan gejala
pneumonia, kata dokter dalam bahasa Inggris yang
terpatah-patah. Tak ada jalan terbaik, kecuali harus
rawat inap beberapa hari di Iizuka Byouin. Lelaki yang
sering terlihat tegang itu pun tak tahan
menyembunyikan sesegukan isakan, wajahnya basah. Aku
yang berdiri di sampingnya juga tanpa sadar meneteskan
air mata.

Aku yakin, di balik sikap sehari-harinya yang terlihat
angkuh dan keras, rasa sayang di hatinya niscaya
selalu ada. Bukankah perasaan sayang ini adalah fitrah
dari Allah Subhanahu wa Ta'ala yang selayaknya ada
pada setiap ayah. Rasa sayang yang berbunga cinta itu
akan menjadikan seorang ayah rela bercucuran keringat,
bahkan nanah dan darah untuk anak-anaknya.

Anak bagi sebuah keluarga memang layaknya permata yang
indah. Ia umpama cahaya yang menyinari kehidupan rumah
tangga. Karenanya tak heran seorang ayah siap
berkorban jiwa dan raga demi buah hati tercinta. Letih
dan uzur yang meranggas tubuhnya pun tak pernah
dihiraukan. Luapan sayang itu begitu bergelora
memenuhi rongga dada, hingga kadang melalaikan rasa
sayang dan cinta kepada kekasih yang sesungguhnya.

*****

Sore pun menjelang. Setelah mengurus administrasi yang
diperlukan untuk rawat inap, kami lantas bergegas
pulang. Ayah dari anak laki-laki itu pulang sebentar
ke rumah untuk mengambil beberapa barang keperluan,
sedangkan aku mesti ke kampus karena ada pekerjaan
yang harus diselesaikan. Tak banyak yang kami
bicarakan selama perjalanan, diam dibaluri suara mobil
yang melantun pelan.

Pikiranku lalu melayang-layang, mengembara dan bersua
dengan buah hati tercinta di rumah, Asy Syifa. Ia lucu
dan tampak cantik dengan jilbab mungilnya. Mata
indahnya berbingkai bulu mata yang lentik dan panjang.
Celotehan dan gerak-geriknya pun selalu kurindukan.
Semua itu membuat rasa sayang dan cinta kepadanya
selalu berlimpah ruah. Aku merasa wajar saja, karena
perasaan itu selalu ada pada diri setiap ayah, bahkan
pada seorang Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam, khaliluLlah.

Akhirnya, tanpa terasa kami telah tiba di lapangan
parkir kampus Kyuukoudai, dan aku terburu-buru menuju
lab. Setelah istirahat sejenak, kuhidupkan komputer.
Klik icon MATLAB pada monitor, dan konsentrasi
melanjutkan pemrograman seraya memasang earphone. Lalu
jari-jemari menari di atas keyboard sembari asyik
mendengarkan musik. Senandung nasyid Belajar dari
Ibrahim-nya Snada pun mengalun perlahan dengan nada
indah.

Sering kita merasa taqwa / Tanpa sadar terjebak rasa /
Dengan sengaja mencuri-curi / Diam-diam ingkar hati
Pada Allah mengaku cinta / Walau pada kenyataannya /
Pada harta, pada dunia / Tunduk seraya menghamba
.....

Deg!!!
Jari-jemariku mendadak kelu, dan aku pun tercenung.

Allahumma inni asaluka hubbaka wa hubba man yuhibbuka
wal 'amala aladzi yubalighuni ilaa hubbika.
Allahummaj'al habbaka ahabbu ilayya min nafsii wa
ahlii waminal maailbaarid.

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kecintaan-Mu,
kecintaan orang-orang yang mencintai-Mu dan amal yang
menyampaikanku pada cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah
kecintaanku kepada-Mu lebih aku cintai daripada
diriku, keluargaku dan air yang sejuk/dingin (harta).

WaLlahua'lam bi shawab.

*MERENGKUH CINTA DALAM BUAIAN PENA*
Al-Hubb FiLlah wa LiLlah,


Abu Aufa

Catatan:
- Iizuka Byouin: Iizuka Hospital (Iizuka adalah nama
sebuah kota kecil yang terletak di tengah-tengah
Fukuoka Prefecture, Pulau Kyuushuu, Jepang).
- Kyuukoudai: Kyuushuu Kougyou Daigaku
(http://www.kyutech.ac.jp/).
- MATLAB: MATrix LABoratory, merupakan salah satu
bahasa pemrograman yang sering digunakan dalam keteknikan.

HINDUN BINTI UTHBAH

Hindun binti Uthbah, pada masa jahiliyah mempunyai kebencian yang sangat
besar kepada Rasulullaah SAW dan kaum muslimin. Kebencian Hindun yang waktu
itu menikah dengan Abu Sufyan bin Umayyah ini, terutama tampak jelas pada
perang Uhud. Hindun menyemangati kaum kafir Quraisy dengan syair dan
rebananya. Bahkan, untuk membalas dendam atas kematian ayah, paman dan kedua
saudaranya pada perang Badar, ia mengunyah jantung hamzah, paman Rasulullaah
SAW. Ia juga memimpin kaum wanita untuk menyayat tubuh para syuhada.

Namun semua berubah saat Rasulullaah SAW dan kaum muslimin memasuki kota
Mekkah dan mendapat kemenangan gemilang. Hati Hindun bergetar menyaksikan
kaum muslimin shalat dengan khusyu'. Kemudian ia berkata kepada Abu Sufyan,
"Aku ingin mengikuti agama Muhammad!"

Abu Sufyan terperanjat mendengar perkataannya, "Aku rasa kata2 itu sangat
kau benci kemarin!" katanya. "Demi Allah! Aku belum pernah melihat Tuhan
disembah sesempurna yang aku lihat malam ini di masjid. Demi Allah! Aku
menemukan mereka ruku' dan sujud serta menegakkan shalat dengan tekun.
Memuja dan manyanjung Allah dengan cara seperti itu." jawab Hindun.

"Engkau telah melakukan kesalahan yang sangat besar dalam hidupmu kepada
al-Islam. Sebaiknya engkau datang kepada mereka dengan salah seorang
kerabatmu." kata Abu Sufyan. Hindun menuruti saran suaminya. Ia kemudian
memilih 'Utsman bin 'Affan untuk menemaninya menghadap Rasulullaah SAW. Saat
itu, Hindun berbaur dengan wanita2 yang akan berbai'at kepada Rasulullaah
SAW. Ia sengaja menyembunyikan identitasnya.

"Kalian berbai'at untuk berjanji tidak akan melakukan perbuatan syirik
sedikitpun?" tanya Rasulullaah SAW setelah membaca beberapa ayat Quran.
"Demi Allah! Anda telah meminta sesuatu dari kami yang tidak anda minta pada
kaum pria. Kami akan melakukan dan menerima itu semua." Jawab Hindun dengan
tegas.

"Dan juga jangan mencuri," kata Rasulullaah SAW. "Demi Allah, di masa itu
aku selalu mencuri uang Abu Sufyan. Aku tidak tahu apakah itu halal ataukah
haram." Jawab Hindun. Saat itu, dalam majlis itu hadir Abu Sufyan. Abu
Sufyan menjawab perkataan Hindun, " Untuk harta yang lalu, aku halalkan dan
relakan untukmu."

"Apakah engkau Hindun binti 'Uthbah?" tanya Rasulullaah SAW. "Benar, aku
adalah Hindun binti 'Uthbah. Sekarang aku mohon maaf atas segala perlakuan
dan perbuatan yang kulakukan dulu." Jawab Hindun. "Allah telah memaafkan
engkau. Dan engkau tidak akan berzina?" tanya Rasulullaah SAW. "Yaa
Rasulullaah, apakah orang merdeka berzina?" tanya Hindun. "Dan tidak
membunuh anak2?" tanya Rasulullaah SAW lagi. "Kami telah merawat mereka dan
setelah dewasa kalian membunuhnya. Itu adalah urusan engkau dengan mereka,
bukan urusan saya lagi." Jawab Hindun. 'Umar bin Khattab yang ada dalam
majlis itu tertawa mendengar perkataan Hindun.

Rasulullah SAW kemudian melanjutkan pertanyaannya, sampai kemudian
mengakhiri dengan ucapannya, "Jangan membangkang dalam kebaikan," tegur
Rasulullaah SAW. "Kami tidak akan datang ke sini bila masih ingin
membangkang dan menentang semua perintahmu yang baik." Jawab Hindun.

Kemudian Rasulullaah SAW berkata pada 'Umar ibnul Khattab RA, "Terimalah
bai'at mereka, ya 'Umar. Mintakan ampun dan istighfar untuk mereka kepada
Allah SWT." 'Umar mematuhi apa yg diperintahkan oleh Rasulullaah SAW. Sejak
saat itu, Rasulullaah SAW menerima bai'at keluarga Abu Sufyan. Hindun sangat
bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat yang diterimanya. Ia bergegas pulang
ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Hindun segera menghancurkan bermacam2
berhala yang selama ini menghiasi rumahnya, dengan kapak.

Itulah Hindun binti 'Uthbah. Cahaya Islam telah mengubahnya. Ia yang
sebelumnya memerangi kaum muslimin dengan penuh kebencian, sekarang terjun
ke medan perang bersama kaum muslimin. Dalam perang Yarmuk, ia membangkitkan
semangat kaum muslimin. Hindun tetap istiqomah dalam keimanannya, sampai ia
meninggal pada masa pemerintahan 'Umar bin Khattan RA.

-Inayati-

KEADILAN ALI BIN ABI THALIB

Suatu ketika, menjelang hari raya, Zainab binti Ali bin Abi Thalib tengah
mematut diri di kamarnya. Ia memandangi dirinya di cermin dan berpikir,
'alangkah baiknya bila pada hari raya nanti, ada sesuatu yg istimewa yg bisa
dikenakannya'. Tetapi, meskipun pada saat itu Ali bin Abi Thalib adalah
seorang kepala negara, tidak berarti kehidupan keluarganya diliputi
kemewahan. Keluarga Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib justru hidup dalam
kondisi amat sederhana. Tak heran bila Zainab, putrinya pun tidak memiliki
perhiasan apa2.

Saat tengah mematut diri itu, Zainab teringat akan sebuah kalung indah yang
tersimpan di Baitul Mal. Kalung itu terbuat dari mutiara yang mahal hargaya.
Namun, sebagaimana harta lain di Baitul Mal, maka kalung itu sesungguhnya
adalah milik kaum muslimin secara keseluruhan.

Zainab tidak boleh menggunakannya dan ia tahu ayahnya tentu tak akan
mengizinkannya mengambil sesuatu apapun dari Baitul Mal. tetapi, pikir
Zainab, bagaimana kalau ia hanya meminjamnya saja? meminjam untuk dipakai
selama Hari Raya, dan kemudian sesegera mungkin mengembalikannya kepada
Baitul Mal?

Tak lama kemudian Zainab pun bergegas menuju Baitul Mal dan menemui Ibnu Abi
Rafi', kepala Baitul Mal. Di sana Zainab mengutarakan maksudnya untuk
meminjam kalung mutiara itu selama 3 hari, sekedar untuk digunakannya di
Hari Raya. "Setelah tiga hari, aku langsung mengembalikannya." janji Zainab.

Ibnu Abi Rafi' tidak keberatan dengan maksud Zainab. Bukankah Zainab adalah
putri Ali bin Abi Thalib, sang khalifah? Maka ia pun membolehkan saja Zainab
meminjam kalung itu selama tiga hari. Hati Zainab pun menjadi senang
karenanya. Sesampai di rumah, Zainab pun mencoba kalung tersebut. Benar
saja, kalung yang indah itu memang nampak cantik sekali.

Tetapi, ketika ia sedang mematut diri dengan menggunakan kalung pinjaman
itu, ayahnya, Ali bin Abi Thalib datang. Ia memandangi putrinya dengan penuh
kasih sayang sebelum melihat ke arah lehernya. Seketika air mukanya berubah.
Wajahnya kini nampak memerah menahan marah. "Zainab!" tegur Ali bin Abi
Thalib seraya berupaya menahan keras kemarahannya, "Dari mana engkau
mendapatkan kalung itu?"

Seketika Zainab menjadi pucat pasi. Ia amat takut melihat nuansa kemarahan
yang terpancar dari wajah ayahnya. Zainab pun menjawab dengan lirih, "Saya
mendapatkannya dari Ibnu Abi Rafi, setelah saya mengatakan padanya untuk
meminjamkan kalung ini dari Baitul Mal. Saya hanya meminjamnya, Ayah, selama
tiga hari di Hari Raya. Setelah itu, saya akan langsung mengembalikannya."

Ali bin Abi Thalib menggeleng dengan keras tanda tidak setuju. Tetapi,
sebagai ayah dan kepala negara yang bijak, ia tidak menumpahkan kemarahannya
begitu saja. Ia ingin memberi tahu bahwa kemarahannya beralasan dan ia juga
ingin agar setiap persoalan diselesaikan di hadapan orang2 yg terlibat.
Karena itu ia menyuruh seseorang pergi menemui Ibnu Abi Rafi' dan memintanya
datang ke rumah.

Sesampainya Ibnu Abi Rafi' di rumahnya, di depan Zainab, Ali bertanya kepada
Ibnu Abi Rafi': "Siapa yang telah menyuruhmu memberikan kalung ini pada
putriku, dan mengkhususkannya dari anak2 kaum muslimin yg lain? Apakah
engkai mendapatkan perintah dari kaum muslimin untuk mempergunakan harta
Baitul Mal sekehendakmu?"

"Wahai Amirul Mukminin, tetapi dia ini adalah putrimu sendiri." jawab Ibnu
Abi rafi' mencoba melunakkan hati Ali. Tetapi Ali tetap pada pendiriannya.
Sekalipun Zainab itu adalah putrinya sendiri, dan maksudnya pun hanya
meminjam harta Baitul Mal, Ali tidak mengijinkannya. Ia takut telah berlaku
tidak adil pada kaum muslimin yang lain bila mendahulukan kepentingan
keluarganya.

"Wahai Ibnu Abi Rafi'," tegas Ali, "apakah putriku bisa meringankan siksa
Allah padaku di hari akhir nanti? Dan apakah ia dapat memikul dosa2ku di
hari akhir nanti?" Ibnu Abi Rafi' terdiam sebelum menjawab, "Tentu tidak
dapat ya Amirul Mukminin."

"Nah kalau begitu, ambil kembali kalung ini dari putriku dan kembalikan
segera ke Baitul Mal. Jangan pernah lagi mengulang perbuatan semacam ini
kalau tidak ingin mendapat sanksi dariku." perintah Ali bin Abi Thalib.

Maka Ibnu Abi Rafi' pun segera mengambil kembali kalung itu dari Zainab dan
mengembalikannya ke dalam Baitul Mal. Lewat cara itu, Zainab pun mendapat
pelajaran berharga, bahwa ia tak boleh sekehendak hati mempergunakan harta
milik kaum muslimin, dan memperturutkan segala keinginan hatinya hanya
karena ia anak seorang Kepala Negara.

Betapa luar biasanya perilaku Ali bin Abi Thalib yang sangat berhati2
menjaga diri dan keluarganya dari segala tindakan tidak adil yang dapat
membawanya pada kemurkaan Allah SWT.

-Zirlyfera Jamil-

Senin, 28 Juli 2008

Kerja Keras

''Maka apabila shalat telah selesai ditunaikan, bertebaranlah kamu di muka
bumi dan carilah karunia (rezeki) Allah dan ingatlah kepada Allah dengan
sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.'' (QS Aljumu'ah [62]: 10)

Ayat di atas menegaskan bahwa kita diperintahkan untuk mencari rezeki demi
kelangsungan hidup di muka bumi ini. Rezeki, meski sudah diatur-Nya, tidak
akan datang sendiri menghampiri kita tanpa ada usaha untuk memperolehnya.
Perintah bertebaran di muka bumi untuk mencari rezeki mengandaikan sebuah
usaha maksimal, kerja keras disertai ketekunan dan sikap tawakal kepada
Allah SWT.

Islam sangat menjunjung tinggi etos kerja. Bahkan dalam salah satu sabdanya
Rasulullah SAW pernah menegaskan, ''Sesungguhnya, bekerja mencari rezeki
yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah-ibadah fardhu.'' (HR
Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)
Jika kerja keras mencari rezeki merupakan kewajiban seorang Muslim setelah
ibadah fardhu, masihkah kita merasa menjadi Muslim yang baik, ketika dalam
jiwa kita masih tersimpan sikap malas dan tidak mau berusaha?

Selayaknya, ketika ibadah fardhu telah ditunaikan, kita tempa diri kita
dengan cucuran keringat karena bekerja keras. Hanya dengan cara inilah,
kita bisa bangga dan menunjukkan kalau kita benar-benar seorang Muslim
sejati. Seorang Muslim yang sanggup menghadapi hidup dengan penuh semangat
juang yang tinggi, meyakini rezeki Allah sangat berlimpah dan disediakan
bagi siapa saja yang mau berusaha menggapainya dengan bimbingan-Nya.

Kerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, selain menunjukkan jiwa serta
kepribadian seorang Muslim, juga merupakan salah satu cara untuk menghapus
dosa-dosa kita. Rasulullah SAW bersabda, ''Barangsiapa pada malam hari
merasakan kelelahan karena kedua tangannya bekerja pada siang hari, maka
pada malam harinya ia diampuni Allah.'' (HR Ahmad)

Dengan demikian jelaslah bahwa tidak ada ruang bagi sikap malas dalam
ajaran Islam. Islam mengajarkan umatnya untuk bekerja keras, mencari
karunia Allah di muka bumi ini dengan sikap gagah, sabar, dan pantang
menyerah. Di sinilah letak 'izzah--kehormatan, harga diri, sekaligus jati
diri--seorang Muslim.

Sebaliknya, sikap berpangku tangan, selalu mengharapkan bantuan orang lain,
pasrah terhadap keadaan, tidak berusaha mengubah ke arah yang lebih baik
menunjukkan kerendahdirian serta kehinaan seseorang. Wallahu a'lam
bish-shawab.

(Didi Junaedi HZ )

Cukuplah Hanya Allah

Penulis : Emilia Febru Handini

KotaSantri.com : Sesuatu yang menurut kita baik untuk diri kita, kadang
tidak sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Karena belum tentu menurut
pandangan ALLAH sesuatu yang disukai itu membawa kita pada kebaikan untuk
diri kita atau pun lingkungan sekitar kita, dan belum tentu pula bisa
menghantarkan kedekatan dengan ALLAH Ta'ala.

Sesuatu yang kita hindari atau yang tidak kita harapkan terjadi dalam
kehidupan kita, belum tentu tidak baik untuk masa depan kita menurut
kacamata ALLAH. Mungkin saja di balik ketidaksukaan atau ketidaknyamanan
yang kita rasakan itu, ALLAH memberikan petunjuk kepada kita untuk
melangkahkan kaki menuju fase hidup selanjutnya. Di balik kejadian yang
tidak sesuai dengan harapan, ALLAH menuntun kita agar kita tak bingung
dalam menentukan arah. Agar kita terselamatkan dari segala macam keburukan
atau malapetaka.

Sepertinya tidak terima. Sepertinya sulit untuk bisa mengikhlaskan hati.
Sepertinya berat untuk menjalaninya. Seperti hampir tak menemukan pintu
tanpa kunci. Tapi, semua kepahitan, kegetiran, dan keberatan itu hanya
untuk sementara. Sampai kapan? Tak kan bisa terjawab, karena hanya Dia yang
berhak mengatur diri kita. Hanya Dia yang berhak menentukan apa yang
terbaik buat diri kita.

Hari esok tak kan pernah ada yang tahu. Esok hanyalah milikNya. Jangan
ciptakan harapan muluk-muluk, sebab biasanya tak kan terjadi, atau mungkin
tidak terjadi. Tak usah pikirkan kebahagiaan diri, karena kebahagiaan tidak
pernah berlabuh pada suatu titik, malah akan terus berlanjut seiring dengan
kepahitan hidup yang harus kita lalui. Jalan tak bisa selamanya lurus.
Kadang ada tikungan tajam yang harus kita lewati dengan penuh
kehati-hatian, kadang jalan itu riskan penuh dengan bebatuan yang terjal,
kadang banyak sekali belokan yang membuat diri bisa tersesat kehilangan arah.

Sekarang mungkin kita sedang berada di jalan yang penuh dengan belokan yang
membingungkan. Menuntut diri untuk membuat suatu keputusan dalam memilih
belokan yang tepat. Harus ke mana melangkah? Belokan manakah yang akan
menyelamatkan diri kita? Apa yang harus kita lakukan selanjutnya? Akankah
Tuhan terangi sinarNya?

"... Dan hati kan menjadi tentram manakala kau pasrahkan semua hanya
kepadaNya..." Ketika kebimbangan itu menyentuh nurani, ingatlah padaNya.
Ketika merasa seperti tak ada pilihan arah tuk berjalan, tetapkan hati
hanya kepadaNya. Ketika kebahagiaan sepertinya sangat jauh terjangkau,
syukuri banyak nikmatNya. Ketika harapan seakan memudar, jangan pernah
putus asa dari rahmatNya.

Kecerdasan Spiritual dan Kesuksesan Anda*

Apakah Anda selama ini masih mengira, bahwa memiliki dan terus meningkatkan
kecerdasan spiritual akan makin menjauhkan Anda dari segala kesuksesan?
Bahwa berpikir, bersikap, dan bertindak benar dan lurus tak akan
mengantarkan Anda kemana-mana? Bahwa dengan cara itu Anda tidak akan sampai
ke cita-cita?

Jika jawaban Anda adalah ya, maka ketahuilah wahai saudaraku, bahwa engkau
telah salah arah. Waspadalah akan dirimu, segeralah ubah haluanmu. Karena
bukan begitu, apa yang sebenarnya.

Kesuksesanmu, sangat ditentukan oleh kecerdasan spiritualmu. Engkau tak akan
pernah menangguk sukses yang sebenarnya bila engkau tidak memilikinya.
Engkau mungkin akan kaya, tapi engkau tak akan pernah berbahagia. Engkau
mungkin bisa menepuk-nepuk dada sendiri, tapi pada saat yang sama engkau
juga adalah perusak di muka bumi. Jika demikian adanya engkau, maka dirimu
tak akan pernah berarti.

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa contoh terbaik dalam setiap untaian
sejarah, adalah berasal dari manusia-manusia sukses seperti para rasul dan
para nabi. Merekalah, golongan manusia yang telah mencapai suksesnya sesuai
kehendak Sang Pencipta. Merekalah wahai saudaraku, manusia-manusia yang
patut disuri-tauladani.

Jika engkau wahai saudaraku, sangat menginginkan segala bentuk kesuksesan
yang bisa engkau bayangkan, maka peganglah erat-erat dan pahamilah dengan
sangat, kisah luar biasa Nabi Musa As yang aku sampaikan kepadamu.

Kisah bayi mungil Musa dimulai dari sini.

*Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir
terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu
khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para
rasul." (QS 28:7) *

Ketahuilah saudaraku, bahwa *faith* selalu diletakkan di tempat yang tinggi,
pada apapun yang pernah engkau sebut sebagai pedoman dan literatur menuju
kesuksesan duniawi. Di dalamnya, terkandung unsur keyakinan dan kepercayaan
yang teramat tinggi. Di situlah letaknya wahai saudaraku, titik pusat dari
apa yang engkau sebut sebagai *kecerdasan spiritual*.

Ibunda Musa adalah wanita manusia biasa. Ia juga punya rasa keibuan yang
sulit dan berat menerima kenyataan, harus terpisahkan dari belahan jiwa yang
disayang dan dicintanya.

Ibunda Musa adalah juga seorang perempuan yang beriman. Ia memiliki
*faith*yang kuat dan kokoh tak tergoyahkan. Ia menegakkannya dengan
penuh keyakinan
dan kepercayaan pada Sang Pemilik Segala Skenario.

Dengan penuh keyakinan dan kepercayaan, ibunda Musa telah memilih untuk
menjalankan apa yang telah diperintahkan atas dirinya.

Ibunda Musa memahami, bahwa dirinya adalah manusia ciptaan yang telah juga
diberi akal dan pikiran. Ia tahu ia memiliki kecerdasan. Kecerdasan yang
lahir bersama *faith* di dalam kepala, di dalam dada dan jiwanya. Kecerdasan
yang spiritual keberadaannya. Kecerdasan, yang didemonstrasikannya mengikuti
skenario Sang Pencipta dengan lima tanda-tanda.

*Pertama*, dicarikannya bayi Musa keranjang yang nyaman menjadi wahana.
Diberinya alas yang hangat dan diberinya peneduh yang menyejukkan dirinya.
Dibalutnya bayi Musa dari telanjang penuh tetes kasih dan sayang bersama
titik air matanya.

*Kedua*, perintah itupun kemudian dijalankannya. Dihanyutkannya keranjang
bayi mungil Musa menyatu dengan gemerecak derasnya aliran sungai Nil.

*Ketiga*, diperintahkannya saudara perempuan Musa, agar terus mengikuti
keranjang bersama aluran arus air. Agar mereka tetap bisa menatapnya dari
kejauhan, dan agar mereka mengerti ke mana arah dan berakhirnya bayi mungil
tercinta mereka.

*Keempat*, keranjang bayi mungil Musa berakhir di taman air indah di
belakang istana raja yang penguasa. Bayi mungil Musa, telah menarik hati
permaisuri istana. Puteri istana ingin memeliharanya.

*Kelima *, kakak perempuan Musa berkata, "Maukah engkau kutunjuki, seseorang
yang mau merawat serta menyusuinya, dengan penuh welas dan asih?" Referensi
kakak perempuan Musa, berakhir pada ibunda Musa sendiri.

Maka sadarilah wahai saudaraku, beginilah akhir sukses dari episode babak
pertama kehidupan Nabi Musa As:

*1*. Ibunda Musa tetap bisa mendekap dan menyusui bayi mungil Musa yang amat
dicintainya,

*2*. Untuk mengemban tugas itu, ibunda Musa kini punya penghasilan sebagai
orang gajian di istana raja,

*3*. Bayi mungil Musa terjamin dan terpelihara segala kebutuhannya, untuk
sehat dan tumbuh besarnya menuju sempurna, serba berkecukupan sebagai
seorang pangeran di istana raja sampai waktu yang ditentukan.

Bisakah engkau melihat wahai saudaraku, betapa cerdasnya sang ibunda Musa?

Wahai saudaraku, telah kusampaikan kepadamu sepenggal kisah sukses seorang
Nabi Musa As. Potongan kisah sukses yang berangkat dari *faith* seorang
ibunda. Ibunda bayi mungil Musa yang cerdas akal, pikiran, dan imannya.
Cerdas spiritual.

Wahai saudaraku jika engkau masih ragu, maka ketahuilah, bahwa
*faith*sebagai inti dari kecerdasan spiritual, adalah modal utamamu
menuju
kesuksesan.

Maka jika nanti dan esok hari, jika engkau menghadapi atau menemui;
kejadian, keadaan, dan situasi, yang menurut kiramu akan menyusahkan atau
membuat kecewa dan bersedih hati, maka tundalah rasa sakitmu saudaraku.

Pelajarilah skenario-Nya dengan *faith*-mu. Yakinilah akan kasih dan
sayang-Nya di balik semua itu. Di sanalah nanti akan engkau temui, apa-apa
yang engkau sebut sebagai suksesmu.

Saudaraku,
Aku Ingin Engkau Sukses,
Aku Harus Membuatmu Sukses.

Ikhwan Sopa

Rezeki Halal Sumber Kebahagiaan

oleh: Ustadz Ulin Niam Masruri

Allah telah memerintahkan kepada kita agar selalu mencari rizki dari
sumber yang halal. Dan perintah ini banyak terkandung dalam ayat alquran,
diantaranya dalam surah Annahl ayat 114
Yang artinya: " Maka makanlah lagi baik dari rezki yang telah diberikan
oleh Allah kepadamu, dan syukuriklah ni'mat Allah jika kamu benar-benar
menyembah-NYA."
Demikian juga Islam yang kita anut telah menganjurkan agar kita berusaha
dengan tekun dan memberikan yang terbaik. Sebagai umat yang menjadi
panutan sudah sewajarnya kita menunjukkan bahwa setiap usaha kita adalah
yang terbaik yang akan membuahkan hasil yang baik juga.

Cara memperoleh rezki yang halal.
Untuk memperoleh rezki yang halal kita perlu melakukan 3 perkara:

Perencanaan.

Dengan melakukan perencanaan yang matang terhadap masalah sumber keuangan
dalam kehidupan kita sehari-hari, maka kita akan terhindar untuk
melakukan pengumpulan uang dengan jalan yang tidak di ridloi oleh Allah.

Berusaha.

Dengan perencanaan yang matang tadi, terus kita praktekkan dalam bentuk
usaha yang benar-benar untuk mencari rezki yang halal. Ketika niat kita
sudah kuat dan bulat, maka seberat apapun tantangan dalam hidup akan dapat
teratasi.

Doa.

Dalam waktu yang bersamaan kita juga harus selau ingat kepada Allah dengan
memperbanyak doa agar dipermudah dan diberkati usaha kita.

Dampak rezki yang halal

Maka dari itu kita perlu bermuhasabah mengenai usaha dan pekerjaan kita
sekarang ini. Yang menjadi pertanyaan, apakah kita sudah memastikan bahwa
sumber mata pencaharian kita adalah yang halal?.Sangat penting bagi kita
semua untuk menjaga agar tidak ada sesuatu barang yang haram masuk
kedalam tubuh kita.

Membentuk keluarga yang bahagia

Andaikata sesuatu yang kita makan berasal dari rezki yang halal maka dalam
kehidupan akan terasa tenang. Berbeda dengan orang yang memakan dari
rezki yang haram dalam sehari-harinya, keluarga akan berantakan walaupun
kaya dalam materi. Maka jangan menyalahkan kepada anak-anaknya, ketika
nantinya menjadi anak yang susah diatur dan durhaka kepada kedua orang
tua. Karena memang sumbernya berasal dari sesuatu yang tidak diridloi oleh
Allah.
Banyak kasus kalau kita melihat fenomena dalam kehidupan dimasyarakat,
anak berani kepada orang tua. Itu tidak lain adalah dampak daripada rezki
haram yang mereka makan dalam kehidupan sehari-hari.

Rasulullah telah bersabda: " Tiada mendatangkan faedah bagi daging yang
tumbuh dari sumber yang haram, melainkan nerakalah tempat yang sewajarnya
bagi daging itu." (HR Imam Turmudzi)
Hidup lebih terarah.

Dengan rezki yang halal akan menjadikan kehidupan kita semakin nikmat dan
terarah. Menerima apa yang telah diberikan oleh Allah kepada kita tanpa
harus terus melihat keatas dalam masalah harta. Ketika hati kita selalu
berpikir masalah kekayaan, maka yang terpikir adalah bagaimana
memperoleh sesuatu yang belum ada pada diri kita, tanpa melihat
kenikmatan yang telah kita terima.

Rezki haram pangkal kehancuran

Kalau kita mau menengok kondisi dimasyarakat sekarang ini, betapa banyak
orang yang tidak lagi memiliki rasa malu dalam mencari sesuap nasi
sehingga mendorong terjadinya praktek suap, tidak amanah terhadap
pekerjaan sehingga dampaknya adalah keingimnan manusia cepat kaya dan
menganggap harta kekayaan sebagai sesuatu yang paling penting dalam
kehidupan.
Maka tidak berlebihan kalau kita sering mendengar banyak ungkapan dalam
kehidupan sehari-hari, mencari rezki yang haram saja susah apalagi
mendapat rezki yang halal atau kita akan senantiasa miskin jika tidak
mencar rezki tambahan dari sumber yang haram.

Rasulullah menjelaskan hal ini dalam sebuah hadisnya yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah " Bakal datang kepada manusia suatu masa orang tidak
lagi peduli terhadap apa yang diambilnya, apakah itu halal atau haram."
Demikian juga dari Ibnu Umar berkata: " Barang siapa yang membeli pakaian
dengan harga sepuluh dirham, satu dirham diantaranya uang yang haram,
maka Allah tidak akan menerima sholatnya selama pakaian itu masih
dipakainya. Kemudian Ibnu Umar memasukkan jarinya kedalam dua telinganya,
lalu berkata: " biarkanlah telinga ini tuli kalau tidak mau mendengarkan
perkataan dari Rasulullah ini." ( HR Imam Bukhori)

Anggapan yang demikian adalah tidak benar sama sekali. Sebab Allah telah
menjamin rezki kita dan memberikan rezki kita sesuai dengan kadar yang
telah ditentukan Allah yang kita tidak tahu berapakah kadar tersebut. Oleh
karena itu kita perlu terus berusaha, bekerja dan mencari rezki yang
halal. kita tidak boleh tergantung pada nasib atau mengeluh nasib, karena
itu tidak membawa faedah.

Sebelum kita akhiri marilah kita menengok sebentar tentang kisah seorang
sahabat yang dapat kita jadikan sebagai suri tauladan dalam masalah
kehati-hatiannya dalam makanan yang haram. Beliau adalah Abu Bakar,
seoramg Kholifah pertama setelah wafatnya Rasulullah. Dalam suatu hari
beliau makan sesuatu, lalu hambanya memberitahu bahwa makanan yang barusan
dimakan tadi adalah hasil dari pekerjaannya sebagai tukang tilik sebelum
dia masuk Islam. Mendengar hal tersebut beliau lantas mengeluarkan
makanan tersebut dan memuntahkan semua yang ada dalam perutnya. Lalu
hambanya menegur: "Mengapa engkau wahai baginda mengeluarkan makanan yang
sudah engkau makan?. Maka beliau menjawab: " Aku pernah mendengar
Rasulullah bersabda bahwa badan yang tumbuh subur dengan makanan yang
haram pasti akan merasakan api neraka. Oleh karena itu aku memaksa
makanaan itu keluar, takut kalau-kalau ia menyuburkanku.

Semoga dengan niat untuk mencari rezki yang halal serta berusaha, rezki
yang kita terima diberkati oleh Allah. Rezki yang penuh berkah akan
menjadikan kita bukan saja umat yang dijadikan suri tauladan akan tetapi
umat yang memberikan sumbangan kepada bangsa, agama dan negara. Wallohu
A'lam Bisshowab

Minggu, 27 Juli 2008

CERITA DARI GUNUNG

Seorang bocah mengisi waktu luang dengan kegiatan mendaki gunung bersama
ayahnya. Entah mengapa, tiba-tiba si bocah tersandung akar pohon dan jatuh.
"Aduhh!" jeritannya memecah
keheningan suasana pegunungan. Si bocah amat terkejut, ketika ia mendengar
suara di kejauhan menirukan teriakannya persis sama, "Aduhh!". Dasar
anak-anak, ia berteriak lagi, "Hei! Siapa kau?" Jawaban yang terdengar,
"Hei! Siapa kau?" Lantaran kesal mengetahui suaranya selalu ditirukan, si
anak berseru, "Pengecut kamu!" Lagi-lagi ia terkejut ketika suara dari sana
membalasnya dengan umpatan serupa. Ia bertanya kepada sang ayah, "Apa yang
terjadi?" Dengan penuh kearifan sang ayah tersenyum, "Anakku, coba
perhatikan." Lelaki itu berkata keras, "Saya kagum padamu!" Suara di
kejauhan menjawab, Saya kagum padamu!" Sekali lagi sang ayah berteriak
"Kamu sang juara!" Suara itu menjawab, "Kamu sang juara!" Sang bocah sangat
keheranan, meski demikian ia tetap belum mengerti. Lalu sang ayah
menjelaskan, "Suara itu adalah gema, tapi sesungguhnya itulah kehidupan."

Kehidupan memberi umpan balik atas semua ucapan dan tindakanmu. Dengan kata
lain, kehidupan kita adalah sebuah pantulan atau bayangan atas tindakan
kita. Bila kamu ingin mendapatkan lebih banyak cinta di dunia ini, ya
ciptakan cinta di dalam hatimu.Bila kamu menginginkan tim kerjamu punya
kemampuan tinggi, ya tingkatkan kemampuan itu. Hidup akan memberikan
kembali segala sesuatu yang telah kau berikan kepadanya. Ingat, hidup bukan
sebuah kebetulan tapi sebuah bayangan dirimu.

original sender: Supriyono

Berpikir

Oleh : Miranda Risang Ayu

<http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=123540&kat_id=19>
berpikir
"Tahukah Anda, mengapa hanya sedikit perusahaan yang dapat menerangkan
dengan jelas etika perusahaannya, seperti: profesionalitas, independensi,
transparansi, kejujuran, dan loyalitas, serta mengoperasikan perusahaannya
menurut etika tersebut?"

Tanya doktor filsafat berambut pirang itu dengan serius. Para peserta forum
pelatihan singkat hak asasi manusia (HAM) itu tercekat. Suasana musim gugur
khas Australia di luar jendela membuat suasana semakin pucat.

Simon Longstaff, sang filsuf itu, lalu menjawab sendiri, "Karena kebanyakan
pemimpin dan karyawan perusahaan bekerja hanya untuk bekerja, tetapi tidak
berpikir." Dan wajah para peserta pun terlongong. Tidak berpikir? Bukankah
ketika seorang manusia baru bangun tidur pun, ia sudah segera mulai
memikirkan, terlambat shalatkah ia atau akan sarapan apa ia pagi itu?

"Anda mengerti maksud saya?" tanyanya kurang yakin. Ia lalu memberi isyarat
kepada saya, yang kebetulan ditugaskan mendampinginya, untuk menerjemahkan
paparannya, "Tidak berpikir artinya tidak pernah bertanya, di mana dirinya,
mengapa ia ada di posisi itu, ke mana ia akan membawa dan dibawa oleh
posisi itu, dan sudah tepatkah dia bertindak selama itu. Tidak berpikir,
artinya tidak pernah bersikap kritis."

Usai kelas, saya jadi teringat pada suatu peristiwa yang baru saja terjadi,
di salah satu perguruan tinggi di Australia juga. Ketika itu, seorang
mahasiswa pascasarjana yang baru mengusaikan kuliahnya terkejut menerima
surat invitasi wisudanya, karena dalam wisuda itu ternyata ia dinyatakan
akan memperoleh penghargaan tertinggi.

Risetnya memang bagus dan ia menyelesaikan studinya dalam jangka waktu yang
lebih cepat dari normal. Tetapi kemudian, ia menyadari bahwa sesungguhnya
tidak semua nilainya A. Padahal, syarat penghargaan tertinggi itu semua
nilai harus A.

Ia ingin mengonfirmasi penghargaan yang akan diterimanya itu, tetapi hampir
tak ada yang mendukungnya. Mengapa keberuntungan harus dipertanyakan lagi,
sehingga membuka kemungkinan penghargaan, yang tentu menjadi impian semua
mahasiswa itu, terbang kembali dari tangannya?

Tetapi, ia begitu gelisah, hingga diangkatnya juga gagang telepon, "Saya
akan sangat bergembira menerima penghargaan itu. Tetapi, mohon diperiksa
lagi, layakkah saya?" Dan jawabannya memang adalah kebenaran yang melukai,
"Kami sungguh mohon maaf telah menempatkanmu pada peringkat pertama."

Saya tahu ia begitu limbung setelah itu. Hampir saja ia mendapatkan
penghargaan tertinggi itu, tanpa seorang pun perlu tahu apakah itu
keberuntungan atau keteledoran.

Puluhan orang lain di tanah airnya, Indonesia, bahkan rela membayar
beberapa juta hanya untuk mendapatkan gelar master atau doktor tanpa harus
bermalam di perpustakaan dan menangis kecapaian selama berbulan-bulan
seperti dirinya.

Dan dia, apa yang dicarinya dengan melepaskan sebuah gelar impiannya hanya
bagi sebuah nilai, yang mungkin, hanya kesunyian yang tahu?

Dengan mata basah, ia berjalan menembus malam, sendirian. Konon, hati
nurani memang bukan untuk didefinisikan, tetapi untuk diikuti. Tetapi,
hanya kesunyian yang memahami.

"Hati nurani itu apa? Saya tidak tahu artinya. Yang saya pahami kini hanya,
bahwa hati nurani selalu tidak mengizinkan seseorang untuk terlalu gembira.
Tetapi juga, adalah hati nurani yang selalu menjadi harga terakhir, ketika
ia tengah tersungkur pada titik terbawah kelemahan dirinya."

Ketika itu, tampaknya ia memang sedang berpikir. Berpikir seperti itu, yang
adalah mendayagunakan seluruh kekuatan akalnya, ternyata memang tidak
sederhana.

"Nyanyian Seruling Bambu" : Jalaluddin Rumi

dengarkanlah nyanyi sangsai Seruling Bambu
mendesah selalu,
sejak direnggut dari rumpun rimbunnya dulu
alunan lagu pedih dan cinta membara

rahasia nyanyianku, meski dekat, tak seorang pun bisa mendengar dan melihat
oh andai ada teman tahu isyarat
mendekap segenap jiwanya dengan jiwaku !

ini nyala Cinta yang membakarku
ini anggur Cinta mengilhamiku
sudilah pahami betapa para pecinta terluka
dengar, dengarkanlah rintihan Seruling... !

original sender: kirana

Berdo’a kepada Allah Ta'ala

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah Dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo'a
apabila ia berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu MEMENUHI (segala
perintah)-Ku dan hendaklah mereka berIman kepada-Ku, agar mereka selalu
berada dalam Kebenaran." (QS. 2:186)

"Dan Rabbmu berfirman: Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan
bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku
akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina-dina". (QS. 40:60)


*Etika

dan Dia memperkenankan (do'a) orang-orang yang berIman serta mengerjakan
Amal yang Shalih dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan
orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras. (QS. 42:26)

.. janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui
(hakekat)nya. (QS. 11:46)

Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) do'a yang BENAR. (QS. 13:14)

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo'a kepada
Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. 32:16) Berdo'alah kepada Rabbmu
dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. 7:55)
yaitu tatkala ia berdo'a kepada Rabbnya dengan suara yang lembut. (QS.
19:3) dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya
Rahmat Allah AMAT DEKAT kepada orang-orang yang BERBUAT BAIK. (QS. 7:56)


*Di antara do'a-do'a dalam proses Suluk/Perjalanan/Kehidupan

"Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang
berlebih-berlebihan dalam urusan kami, dan tetapkanlah pendirian kami, dan
tolonglah kami dari kekafiran." (QS. 3:147)

"Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau
tidak mengampuni kami dan memberi Rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami
termasuk orang-orang yang Merugi." (QS. 7:23)

"Ya Rabb kami, limpahkanlah Kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami
dalam keadaan BERSERAH DIRI kepada-Mu." (QS. 7:126)

"Ya Rabb kami, tuangkanlah Kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah
pendirian kami dan tolonglah kami terhadap kekafiran." (QS. 2:250)

"Ya Rabbku, berilah aku Ilham untuk tetap menSyukuri nikmat-Mu yang telah
Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku, dan untuk
mengerjakan Amal Shalih yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan
Rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang Shalih." (QS. 27:19)

"Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan
sesudah Engkau beri Petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami
Rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi
(karunia)." (QS. 3:8)

"Wahai Rabb kami, berikanlah Rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan
Sempurnakanlah bagi kami Petunjuk yang LURUS." (QS. 18:10)


-- n. kirana --

Pesan Rasul Saw Kepada Putrinya

" Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra, sesungguhnya dia berkata: Pada suatu
hari Rasulullah Saw datang kepada puterinya, Fathimatuz Zahra'. Beliau
dapati Fathimah sedang menumbuk gandum di atas lumpang (batu/kayu
penggiling), sambil menangis. Kemudian Rasul berkata kepadanya: "Apakah
yang
membuatmu menangis, wahai Fathimah? Allah tiada membuat matamu menangis.
"Fathimah kemudian menjawab: "Wahai ayahanda, aku menangis karena batu
penggiling ini dan kesibukanku dalam rumah".

Kemudian Nabi duduk di sampingnya. Dan Fathimah berkata lagi: "Wahai
ayahanda, atas keutamaan engkau, mintalah kepada Ali agar dia membelikan
bujang untukku supaya dapat membantuku menumbuk gandum dan menyelesaikan
urusan rumah."

Setelah Nabi mendengar ucapan itu, maka Beliau bangkit dan menghampiri batu
penggiling itu. Beliau ambil gandum itu dengan tangan Beliau yang mulia,
kemudian beliau letakkan ke dalam batu penggiling, seraya mengucapkan
'Bismillahir Rahmanir Rahim'. Maka atas izin Allah, batu penggiling itu
berputar dengan sendirinya. Beliau turunkan gandum itu dari batu penggiling
dengan tangan beliau sendiri. Batu penggiling itu terus berputar dengan
sendirinya dan membaca tasbih dengan bahasa yang berbeda-beda, sehingga
selesai gandum tertumbuk semuanya.

Kemudian Rasulullah berkata kepada lumpang itu: "Berhentilah engkau dengan
izin Allah", lalu lumpang itu berhenti dan berkata atas izin Allah, Zat
yang mengucapkan segala sesuatu, seraya berkata dengan lisan yang fasih dan
berbahasa Arab: "Ya Rasulullah, demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran
sebagai nabi dan rasul, kalau saja engkau perintahkan aku untuk menggiling
gandum jagat Timur dan Barat, tentu aku akan menggilingnya. Dan
sesungguhnya aku mendengar firman dalam Kitab Allah :
"Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu daripada
neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu-batu, sedang penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar lagi keras, mereka tiada mendurhakai Allah
tentang apa-apa yang disuruh-Nya dan mereka memperbuat apa-apa yang
diperintahkan kepadamu."
(Q.S. At-Tahrim : 6).

Maka aku khawatir wahai Rasulullah, kalau-kalau aku menjadi batu yang
dimasukkan ke dalam neraka". Kemudian Nabi berkata kepada batu itu :
"Bergembiralah engkau. Sesungguhnya engkau termasuk batu gedung Fathimah di
surga". Maka ketika itu lumpang menjadi lega gambira dan diam. Kemudian
Nabi berkata kepada puterinya, Fathimah: "Kalau Allah menghendaki wahai
Fathimah,
tentu lumpang itu akan menggilingkan gandum untukmu. Akan tetapi Allah
menghendaki agar ditulis beberapa kebaikan untukmu, menghapuskan
keburukan-keburukan serta hendak mengangkat derajatmu, wahai Fathimah,
barangsiapa orang perempuan yang menumbukkan (gandum) untuk suami dan
anak-anaknya, pasti Allah akan menuliskan untuknya setiap satu biji, satu
kebaikan serta menghapuskan darinya setiap satu biji satu keburukan. Dan
bahkan Allah akan mengangkat derajatnya.

Wahai Fathimah, barang siapa orang perempuan berkeringat manakala menumbuk
(gandum) untuk suaminya. Tentu Allah akan menjadikan antara dia dan neraka
tujuh khonadiq (lubang yang panjang).

Wahai Fathimah, manakala seorang perempuan mau meminyaki kemudian menyisir
anak-anaknya serta memandikan mereka, maka Allah akan menuliskan pahala
untuknya dari memberi makan seribu orang lapar dan memberi pakaian seribu
orang yang telanjang.

Wahai Fathimah, bilamana seorang perempuan menghalangi (tidak mau membantu)
hajat tetangganya, maka Allah akan menghalanginya minum dari telaga
"Kautsar" kelak di hari Kiamat.

Wahai Fathimah, lebih utama dari itu adalah kerelaan suami terhadap
istrinya. Kalau saja suamimu tidak rela terhadap engkau, maka aku tidak
mau
berdo'a untukmu. Apakah engkau belum mengerti wahai Fathimah, sesungguhnya
kerelaan suami adalah perlambang kerelaan Allah sedang kemarahannya
pertanda kemurkaan-Nya.

Wahai Fathimah, manakala seorang perempuan mengandung janin dalam perutnya,
maka sesungguhnya malaikat-malaikat telah memohonkan ampun untuknya, dan
Allah menuliskan untuknya setiap hari seribu kebaikan serta menghapuskan
darinya seribu keburukan. Manakala dia menyambutnya dengan senyum, maka
Allah akan menuliskan untuknya pahala para pejuang. Dan ketika dia telah
melahirkan kandungannya, maka berarti dia ke luar dari dosanya bagaikan di
hari dia lahir dari perut ibunya.

Wahai Fathimah, manakala seorang perempuan berbakti kepada suaminya dengan
niat yang tulus murni, maka dia telah keluar dari dosa-dosanya bagaikan di
hari ketika dia lahir dari perut ibunya, tidak akan keluar dari dunia
dengan
membawa dosa, serta dia dapati kuburnya sebagai taman diantara taman-taman
surga. Bahkan dia hendak diberi pahala seribu orang haji dan seribu orang
umrah dan seribu malaikat memohonkan ampun untuknya sampai hari kiamat.

Dan barangsiapa orang perempuan berbakti kepada suaminya sehari semalam
dengan hati lega dan penuh ikhlas serta niat lurus, pasti Allah akan
mengampuni dosa-dosanya serta memakaikan kepadanya pakaian hijau (dari
surga) kelak di hari Kiamat, serta menuliskan untuknya setiap sehelai
rambut
pada badannya seribu kebaikan, dan Allah akan memberinya (pahala)seratus
haji dan umrah.

Wahai Fathimah, manakala seorang perempuan bermuka manis di depan
suaminya, tentu Allah akan memandanginya dengan pandangan Rahmat.

Wahai Fathimah, bilamana seorang perempuan menyelimuti suaminya dengan hati
yang lega, maka ada Pemanggil dari langit memanggilnya, "Mohonlah agar
diterima amalmu. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu
maupun yang belum lewat".

Wahai Fathimah, setiap perempuan yang mau meminyaki rambut dan jenggot
suaminya, mencukur kumis dan memotongi kukunya, maka Allah akan meminuminya
dari 'rahiqil makhtum dan sungai surga, memudahkannya ketika mengalami
sakaratil maut, juga dia hendak mendapati kuburnya bagaikan taman dari
pertamanan surga, serta Allah menulisnya bebas dari neraka serta lulus
melewati shirat".

Minggu, 20 Juli 2008

HIDAYAH

Ngomong-ngomong soal hidayah, Saya mempunyai referensi menarik tentang
apa itu 'hidayah'. Ini adalah salah satu diskusi Saya dengan seorang
ulama, HM. Nur Aburrahman, atau biasa beliau menulis dengan inisial
namanya : HMNA. Berikut petikannya :

Hidayah dibentuk oleh akar kata yang terdiri dari 3 huruf Ha, Dal, Ya.
Dari sini diturunkan kata hudan dan hidayah, artinya petunjuk. Saya
mengutarakan S. anNur, 35 (karena sedikit panjang, hanya sepotong saja
dikutip, kalau ingin tahu anda dapat membacanya dari Al Quran) :: Yahdi
Lla-hu linuwrihi- man yasyaau. Mengenai artinya, maka perhatikan baik-
baik: Ada dua macam terjemahan, yaitu terjemahan jumhur (main stream)
dan terjemahan yang bukan jumhur.

Kita mulai dahulu dengan terjemahan jumhur : fi'il (kata kerja, verb)
yasyaau artinya berkehendak, mau. Pertanyaannya ialah siapa faa'il
(pelaku, subject)-nya. Pemahaman jumhur, pelakunya adalah Allah. Dengan
demikian ayat itu difahamkan: Allah menunjuki dengan nur-Nya siapa yang
Allah kehendaki. Dalam hal ini Allah aktif, hamba Allah pasif. Rupanya
mereka yang memberikan jawaban: "belum mendapat hidayah dari Allah.
Ataupun jika memvonis seseorang yang 'gemar' melakukan kemungkaran acap
kali disebut dengan belum mendapat hidayah dari Allah", adalah mereka
yang tergolong main stream yang memahamkan Yahdi Lla-hu linuwrihi- man
yasyaau dengan Allah menunjuki dengan nur-Nya siapa yang Allah
kehendaki atau dikehendaki-Nya. Allah aktif, hamba Allah pasif.

Selanjutnya terjemahan menurut pemahaman yang tidak jumhur. Pelaku dari
yasyaau (berkehendak, mau) adalah man. Dalam hal ini man yasyaau adalah
maf'uwlun bih (object) yang berwujud anak kalimat, siapa yang
berkehendak. Maka terjemahannya menurut pemahaman ini adalah: Allah
menunjuki dengan nur-Nya siapa yang mau. Artinya dengan kekuasan-Nya
Allah memberikan kepada manusia untuk bebas memilih (free choice).
Allah memberi petunjuk bersyarat bagi hamba-Nya, sesuai dengan
ketetapan Allah yang memberikan free choice kepada manusia. Kalau
manusia itu memilih ingin mendapat petunjuk, maka Allah akan
menunjukinya. Dalam hal ini Allah aktif, dan hamba Allah juga aktif.
Tentu saja pemahaman ini harus dikuatkan atau dibenarkan oleh ayat-ayat
Al Quran yang lain.

Marilah kita mengkaji ayat-ayat tentang free choice dan persyaratan
yang manusia harus kerjakan untuk diterima permohonannya oleh AllahSWT.
Wa quli lhaqqu min rabbikum faman sya-a falyu"min wa man sya-a
falyakfur (QS. AlKahf, 29). Dan katakanlah (hai Muhammad) kebenaran itu
dari Maha Pengaturmu, maka siapa yang mau berimanlah dan siapa yang mau
kafirlah. Jadi menurut ayat ini Allah Yang Maha Pengatur (ArRabb) telah
menetapkan free choice bagi hambaNya. Konsekwensi free choice adalah
tanggung jawab. Yang memilih kafir, ingkar terhadap existensi Allah
(atheist), ingkar terhadap perintah Allah (pendosa), pasti akan
menerima hukuman Allah Yang Maha Adil. Janganlah pula pengganas berkata
saya membunuh orang, mengapa mesti dihukum, bukankah saya jadi
pengganas itu atas kehendak Allah juga? Atau dikatakan/diberi komentar:
Oh, dia belum mendapat hidayah. Free choice, pengganas memilih menjadi
pengganas harus dihukum di dunia dan dihukum di akhirat.

Ayat-ayat mengenai persyaratan yang harus dikerjakan manusia supaya
Allah berkenan akan dia.

Menyangkut substansi:
Inna Lla-ha laa yughayyiru maa biqawmin hatta- yughayyiruw maa
bianfusihim (QS Ar Ra'd, 11) . Sesungguhnya Allah barulah mengubah apa
yang ada atas suatu qaum, hingga mereka itu mengubah apa yang ada atas
dirinya. Jadi ada prasyarat yang diberikan Allah kepada manusia supaya
Allah yughayyiru (mengubah). Apa prasyaratnya? Yughayyiruw maa
bianfusihim (mereka itumengubah dirinya).

Dza-lika bianna Lla-ha lamyaku mughayyiran ni'matan an'amaha- 'ala-
qawmin hatta- yughayyiruw maa bianfusihim (QS Al Anfaal, 53).
Demikianlah itu sebabnya , karena Allah sekali-kali tiada mengubah
ni'mat yang dianugerahkanNya kepada suatu qaum, hingga mereka itu
mengubah apa yang ada atas dirinya. Prasyarat supaya Allah memberi
ni'mat, sama seperti dalam (QS ar Ra'd, 11) .
Uji-bu da'wata ddaa'i idza- da'aany falyastajiybuwly walyu"minuwbiy (QS
al Baqarah, 186). Kuperkenankan do'a pendo'a jika berdo'a kepada-Ku,
maka wajiblah ia menuruti perintah-Ku dan beriman kepadaKu. Ayat ini
banyak prasyaratnya supaya Allah menerima do'a hamba-Nya, yaitu:
da'aaniy, yastajiybuwly dan yu"minuwbiy. Dua persyaratan terakhir
mengandung Lam al Amr, huruf lam yang menyatakan perintah, jadi wajib
hukumnya.

Menyangkut redaksional:
Inna Lla-ha yudhillu man yasyaau, wa yahdiy ilayhi man ata-ba (QS ar
Ra'd, 27).Allah menyesatkan siapa yang mau sesat, dan menunjuki
kepadanya siapa yang taubat. Bahwa pelaku dari yasyaau (yang mau)
adalah man (siapa), dijelaskan secara redaksional sambungan ayat
tersebut: wa yahdiy ilayhi man ata-ba, dan Allah menunjuki siapa yang
taubat. Maka diibaratkan orang yang belum mendapat hidayah berada di
gua yang gelap, maka ia harus aktif atas dasar free choice meninggalkan
gua yang gelap itu untuk dapat memperoleh hidayah, karena Allah SWT
secara aktif telah menyebarkan Nur-Nya (hidayahNya). Untuk sampai di
luar gua agar mendapatkan Nur-Nya, maka ia harus atas dasar free choice
memenuhi persyaratan seperti dijelaskan di atas semaksimal mungkin.
Semakin mendekati maksimum memenuhi persyaratan itu, maka insya Allah
(Allah menghendaki) semakin cepat hidayah itu diperoleh. Sebaliknya
semakin mendekati minimum untuk memenuhi persyaratan itu, maka semakin
lambat pula datangnya hidayah itu.

Penulis Erwin Suryakesuma

Filosofi Akar: Paling Penting tapi Tidak Perlu Terlihat

Akar dalam struktur pepohonan menempati
posisi paling strategis dan utama. Nyaris semua bagian
pepohonan menggantungkankeberlangsungan hidupnya pada
akar : batang, dahan, ranting, daun terlebih lagi
buah. Bahkan proses lahirnya suatu tanaman yang
bermula dari sebuah biji, sebelum membentuk bagian
yang lain, yang pertamakali terbentuk adalah akar.

Demikian pula dalam proses pertumbuhannya hingga
menghasilkan buah. Akar adalah ujung tombaknya.
Saripati tanah sebagai makanan yang akan diproses
lebih lanjut tidak bisa tidak harus melalui akar
dahulu. Jika akar ini sehat maka bisa dipastikanproses
berikutnya akan berjalannormal. Namun sebaliknya,
sesubur apapun tanah yang didiami, manakala struktur
utama ini bermasalah, bisa dipastikan efeknya dapat
berpengarug pada proses selanjutnya. Dan kemungkinan
terburuk adalah berakhirnya keberlangsungan hidupnya.

Dari akar ini akan terbentuk batang pohon yang kuat,
dahan, ranting, serta dedaunan asri yang sejuk
dipandang mata. Dan yang paling dinanti tentu saja
bunga yang indah dan buah-buahan yang segar lagi
menyehatkan. Pernahkankita memperhatikan aneka warna
bunga yang merekah dan memancarkan keindahannya?
Pernahkah kita perhatikan rumah kecil dengan sederetan
pepohonan dan aneka bunga menghiasi halamannya? Kesan
yang timbul tentu kesejukan serta kenyamanan, bukan
kecil dan sempitnya rumah itu.

Sesungguhnya akarlah yang menjadikan pohon tegak dan
hidup, akan tetapi ia tersembunyi didalam tanah, tidak
terlihat oleh manusia. Ia rela semua mata manusia
kagum danmenyukai bagian yang lainnya, entah batang
kayunya yang kuat atau buahnya yang lezat. Akarlah
yang bersusah payah merambat ke segala arah tak kenal
kering serta tandusnya tanah di musim kemarau, mencari
makanan demi tegak dan hidupnya sang pohon. Ia tidak
pernah mengeluh lantara merasa capek berpuluh-puluh
meter mengais saripati tanah, lantas kesal dan "mogok
kerja". Apalagi minta "pensiun". Biarlah tersembunyi
di dalam tanah asalkan bisa memberikan yang terbaik
bagi yang ada di permukaan tanah. Itulah prinsip akar.


Begitulah Allah swt mencontohkan keikhlasan sejati
pada manusia melalui salah satu ciptaan-Nya. Akan
tetapi sedikit sekali manusia yang mengambil fenomena
alam ini sebagai pelajaran dalam mengayuh biduk di
tengah samudra kehidupan. Sebagian orang lebih
mengutamakan ketenaran sehingga membangun amal yang
diliputi hiruk pikuk publikasi dan gaung kemasyhuran.
Tidak lagi mengedepankan prinsip perjuangan
danpengorbanan. Segala yang ia lakukan hanya
untukmemberikan yang berbaik bagi dirinya sendiri,
tanpa peduli dengan yang lain. Padahal Allah swt
menghendaki manusia mengikuti karakter pohon keimanan,
akarnya menghunjam kke dalam bumi, batangnya menjulang
tinggi ke langit dan memberikan buah yang lezat bagi
siapa saja. (QS. Ibrahim : 24-25)

Sungguh mustahil tanpa akar yang menghujam kuat ke
bumi akan menghasilkan buah yang berkualitas tinggi,
karena badai dan topan akan mudah melumatkannya
sebelum proses pembuahan terjadi. Dalam kehidupan
manusia memberi arti bahwa suatu amal yang berangkat
dari niat yang tidak ikhlas mustahil akan memperoleh
hasil baik dan memuaskan. Kalaupun membawa keusuksesan
maka itu bersifat semu dan membawa kemudharatan lebih
besar dari maslahatnya. Niat yang terkonatmimnasi
dengan polusi hawa nafsu akan merusak amal, mengotori
jiwa, melemahkan barisan dan menggagalkan pahala.

M. Mabruri Faozi, Cirebon
Dikutip dari Majalah Tarbawi Edisi 29 th. 3