Minggu, 14 Desember 2008

Matahari Terbenam Tanpa Senyum

Oleh: Gundolo Sosro


Ada sebuah kegiatan murah meriah yang kerap saya lakukan dulu ketika masih
tinggal di kota Denpasar Bali, yakni menunggui matahari. Kalau waktu yang
tersedia di pagi hari, maka Sanurlah tempatnya. Di sore hari, Kutalah
lokasinya. Yang jelas, mata hari terbit di pagi hari, maupun matahari
terbenam di sore hari bagi saya sama indahnya. Sinarnya yang
kemerah-merahan. Gerakannya yang pelan dan perlahan. Cincin atau lingkaran
yang mengelilingi matahari, semuanya itu menjadi sebuah berkah Tuhan yang
layak dinikmati. Rugi besarlah mereka yang tidak pernah menikmati matahari.

Belasan tahun setelah semua itu berlalu, di Jakarta yang pantainya tidak
sebersih dan seindah pantai Bali, ada perasaan kehilangan yang mendalam
terhadap keindahan matahari. Hari-hari yang dulunya selalu di awali dengan
senyuman matahari pagi, diakhiri dengan redupnya pelan-pelan senyuman
matahari sore, sekarang diganti dengan hari-hari yang teramat berbeda. Di
pagi hari, kehidupan saya dimulai dengan berderingnya alarm tanda harus
bangun. Di malam hari, ia diakhiri dengan badan yang lelah dan letih,
lantas tidur.

Isinya kehidupan memang berganti dari hari ke hari, tahun ke tahun. Tetapi,
tidak ada matahari tenggelam hari itu yang saya biarkan tenggelam tanpa
senyuman. Entah senyuman pada anak sendiri atau anak mertua. Senyuman pada
orang-orang yang saya temui. Senyuman pada kehidupan. Di rumah, bahkan
kerap saya tersenyum pada pohon, sungai, rumput, burung ­ sebuah kebiasaan
yang bisa membuat orang mengira kalau saya ini gila.

Kenapa senyuman teramat penting dalam hidup saya, karena ia tidak hanya
berguna pada orang atau mahluk yang melihat senyuman saya, ia malah lebih
berguna pada pemilik senyuman. Kalau panca indera berfungsi dasar sebagai
jembatan antara manusia dan alam semesta, senyuman memiliki fungsi dasar
yang lain.

Senyuman, paling tidak menurut saya, befungsi sebagai jembatan antara kita
dengan orang dan mahluk lain, dan yang lebih penting lagi menjadi jembatan
antara kita dengan sang hati. Makanya, dalam banyak kesempatan saya
ungkapkan ke banyak orang, salah satu pintu menuju pada hati bernama
senyuman. Mungkin malah menjadi salah satu pintu yang yang paling lebar dan
longgar. Ia terbuka pada siapa saja yang rajin menabur senyuman.
Lebih-lebih kalau senyuman itu ditabur dengan tangan-tangan keihklasan dan
ketulusan. Ibarat menabur benih bunga yang sehat di lahan yang subur, ia
akan tumbuh, berkembang, berbunga tiada henti, seperti matahari yang
menghiasi bumi setiap hari.

Coba rasakan sendiri di dalam hati masing-masing. Bedakan antara kondisi
hati ketika kita stres, depresi atau menangis. Dan bandingkan dengan
kondisi hati ketika kita tersenyum. Bukankah bedanya amat teramat berbeda ?
Dalam keadaan stres dan depresi, semua ingatan tentang hati plus seluruh
kemuliaannya, seperti lenyap begitu saja. Dalam senyuman yang ikhlas dan
tulus, apa lagi ditambah dengan rasa syukur yang mendalam, hati seperti
sedang bernyanyi.

Kalau digambarkan secara visual, di sekeliling hati yang dibungkus muka
yang penuh senyuman ada ribuan bunga indah melayang-layang. Lengkap dengan
kupu-kupunya yang penuh warna. Tidak hanya pemilik hati yang penuh suka
cita, alam dan kehidupan juga ikut tertawa gembira. Dalam tataran renungan
yang lebih dalam, dengan senyuman kita sedang ikut memperbaiki sang hidup
dan kehidupan.

Dengan latar belakang seperti ini, kalau ada orang yang teramat miskin
dengan senyumannya, ia layak untuk merenungkan kembali sifat pelitnya akan
senyuman. Apapun alasannya ­ dari anggapan bahwa senyumnya tidak menarik,
orang lain tidak membalas senyuman kita, takut dicurigai, dst ­ senyuman
bukanlah kekayaan yang tepat kalau disimpan sendiri.

Ibarat mobil yang rusak mengkarat kalau tidak pernah dipergunakan, senyuman
juga demikian. Tanpa digunakan, ia akan merusak hubungan kita dengan orang
lain, membuat pintu hati tertutup rapat, dan membuat sang kehidupan seperti
besi yang penuh karat : kotor, berdebu, kurang bermanfaat.
Dalam cermin renungan yang berwajah begini, banyak sekali manfaatnya kalau
kita berani mendidik diri untuk tersenyum. Mulanya memang kelihatan dan
terasa memaksa. Ada perasaan dan penampilan sedang tidak menjadi diri
sendiri pada awalnya. Akan tetapi, sebagaimana karet gelang yang kita tarik
cukup sering secara perlahan, ketika mulai ditarik ia melawan kencang,
kemudian lama-lama menjadi longgar dan tidak melawan.

Anda bisa memulainya dengan cara Anda sendiri. Saya memulainya di depan
cermin, di depan anak-anak di rumah bersama burung, pohon dan sungai
(dengan catatan tidak dilihat orang lain). Pipi dan bibir ini memang
menolak dan melawan pada awalnya. Demikian juga komentar orang lain saat
saya baru belajar berbicara sambil tersenyum di depan publik. Ketika baru
mulai dilihat aneh. Tetapi begitu ia menjadi biasa, tidak ada gangguan dan
hambatan yang berarti.

Tidak sedikit tenaga, biaya dan hambatan dari orang lain yang melelahkan
yang telah dibayarkan untuk ini. Namun, saya tetap terus mencoba
memperbaiki kuantitas dan kualitas senyuman. Sebab, kalau ada matahari di
hari ini yang terbenam tanpa senyuman pada sang kehidupan, itu berarti kita
sedang melakukan perusakan pada alam, kehidupan. Dalam bentuknya yang lebih
menakutkan, kehidupan tanpa senyuman adalah sejenis penghianatan.

Tidak ada komentar: