Jumat, 01 Agustus 2008

DOA YANG SELALU DIKABULKAN

Oleh: Helvy Tiana Rosa

Pagi itu, 3 Mei 1998, dari Jakarta, saya diundang mengisi seminar di
IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya duduk di bangku kedua ari
depan sambil menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah, yang
belum saya kenal. Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan
memperkenalkan ia yang baru saja tiba. Saya segera berdiri menyambut
senyumnya yang lebih dulu merekah. Ia seorang yang bertubuh besar,
ramah, dalam balutan gamis biru dan jilbab putih yang cukup panjang.
Kami berjabat tangan erat, dan saat itu tegas dalam pandangan saya
dua kruk (tongkat penyangga yang dikenakan-nya) serta sepasang kaki
lemah dan kecil yang ditutupi kaos kaki putih. Sesaat batin saya
hening, lalu melafazkan kalimat takbir dan tasbih.


Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran pertama. Saya
bahagia karena para peserta tampak antusias. Begitu juga ketika
giliran Mimin tiba Semua memperhatikan dengan seksama apa yang
disampaikannya. Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan retorika
yang menarik. Wawasannya luas, pengamatannya akurat. Saya tengah
memandang wajah dengan pipi merah jambu itu saat Mimin berkata dengan
nada datar. "Saya diuji Allah dengan cacat kaki ini seumur hidup
saya." Ia tersenyum. "Saya lahir dalam keadaan seperti ini. Mungkin
banyak orang akan pesimis menghadapi keadaan yang demikian, tetapi
sejak kecil saya telah memohon sesuatu pada Allah. Saya berdoa agar
saat orang lain melihat saya, tak ada yang diingat dan disebutnya
kecuali Allah," Ia terdiam sesaat dan kembali tersenyum.
"Ya, agar mereka ingat Allah saat menatap saya. Itu saja."

Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan bisa kuliah. "Saya
kuliah di Fakultas Psikologi," katanya seraya menambahkan bahwa
teman-teman pria dan wanita di Universitas Islam Bandung-tempat
kuliahnya itu-senantiasa bergantian membantunya menaiki tangga bila
kuliah diadakan di lantai dua atau tiga. Bahkan mereka hafal jam
datang serta jam mata kuliah yang diikutinya. "Di antara mereka ada
yang membawakan sebelah tongkat saya, ada yang memapah, ada juga yang
menunggu di atas," kenangnya. Dan civitas academica yang lain?
Menurut Mimin ia sering mendengar orang menyebut-nyebut nama Allah
saat menatapnya. "Mereka berkata: Ya Allah, bisa juga ya dia kuliah,"
senyumnya mengembang lagi. "Saya bahagia karena mereka menyebut nama
Allah. Bahkan ketika saya berhasil menamatkan kuliah, keluarga,
kerabat atau teman kembali memuji Allah. Alhamdulillah, Allah memang
Maha Besar. Begitu kata mereka."

Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga berkata bahwa ia tak
pernah ber-mimpi akan ada lelaki yang mau mempersuntingnya. "Kita
tahu, terkadang orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi
seorang yang cacat seperti saya. Ya tawakal saja." Makanya semua
geger, ketika tahun 1993 ada seorang lelaki yang saleh, mapan dan
normal melamarnya. "Dan lagi-lagi saat walimah, saya dengar banyak
orang menyebut-nyebut nama Allah dengan takjub. Allah itu maha kuasa,
ya. Maha adil! Masya Allah, Alhamdulillah, dan sebagainya," ujarnya
penuh syukur.

Saya memandang Mimin dalam. Menyelami batinnya dengan mata mengembun.
"Lalu saat saya hamil, hampir semua yang bertemu saya, bahkan orang
yang tak mengenal saya, menatap takjub seraya lagi-lagi mengagungkan
asma Allah. Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan agar
saya tidak ke bidan, melainkan ke dokter untuk operasi. Bagaimanapun
saat seorang ibu melahirkan otot-otot panggul dan kaki sangat
berperan. Namun saya pasrah. Saya merasa tak ada masalah dan yakin
bila Allah berkehendak semua akan menjadi mudah. Dan Alhamdulillah,
saya melahirkan lancar dibantu bidan," pipi Mimin memerah kembali.
"Semua orang melihat saya dan mereka mengingat Allah. Allahu Akbar,
Allah memang Maha Adil, kata mereka berulang-ulang."
Hening. Ia terdiam agak lama. Mata saya basah, menyelami batin Mimin.
Tiba-tiba saya merasa syukur saya teramat dangkal dibandingkan
nikmatNya selama ini. Rasa malu menyergap seluruh keberadaan saya.
Saya belum a pa-apa. Yang selama ini telah saya lakukan bukanlah apa-apa.

Astaghfirullah. Tiba-tiba saya ingin segera turun dari tempat saya
duduk sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya selama hidup
saya, saya menahan airmata di atas podium. Bisakah orang ingat pada
Allah saat memandang saya, seperti saat mereka memandang Mimin?

Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari panggung, pandangan
saya masih kabur. Juga saat seorang (dari dua) anaknya menghambur ke
pelukannya. Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara telapak
tangan kanannya berusaha membelai kepala si anak. Tiba-tiba saya
seperti melihat anak saya, yangselalu bisa saya gendong kapan saya
suka. Ya, Allah betapa banyak kenikmatan yang Kau berikan padaku.
Ketika Mimin pamit seraya merangkul saya dengan erat dan berkata
betapa dia mencintai saya karena Allah, seperti ada suara menggema di
seluruh rongga jiwa saya. "Subhanallah, Maha besar Engkau ya Robbi,
yang telah memberi pelajaran pada saya dari pertemuan dengan hambaMu
ini. Kekalkanlah persaudaraan kami di Sabilillah. Selamanya. Amin."

Mimin benar. Memandangnya, saya pun ingat padaNya. Dan cinta saya
pada Sang Pencipta, yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin
mengkristal.


("Pelangi Nurani": Penerbit Asy Syaamil, 2002)

Tidak ada komentar: