Minggu, 27 Juli 2008

Berpikir

Oleh : Miranda Risang Ayu

<http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=123540&kat_id=19>
berpikir
"Tahukah Anda, mengapa hanya sedikit perusahaan yang dapat menerangkan
dengan jelas etika perusahaannya, seperti: profesionalitas, independensi,
transparansi, kejujuran, dan loyalitas, serta mengoperasikan perusahaannya
menurut etika tersebut?"

Tanya doktor filsafat berambut pirang itu dengan serius. Para peserta forum
pelatihan singkat hak asasi manusia (HAM) itu tercekat. Suasana musim gugur
khas Australia di luar jendela membuat suasana semakin pucat.

Simon Longstaff, sang filsuf itu, lalu menjawab sendiri, "Karena kebanyakan
pemimpin dan karyawan perusahaan bekerja hanya untuk bekerja, tetapi tidak
berpikir." Dan wajah para peserta pun terlongong. Tidak berpikir? Bukankah
ketika seorang manusia baru bangun tidur pun, ia sudah segera mulai
memikirkan, terlambat shalatkah ia atau akan sarapan apa ia pagi itu?

"Anda mengerti maksud saya?" tanyanya kurang yakin. Ia lalu memberi isyarat
kepada saya, yang kebetulan ditugaskan mendampinginya, untuk menerjemahkan
paparannya, "Tidak berpikir artinya tidak pernah bertanya, di mana dirinya,
mengapa ia ada di posisi itu, ke mana ia akan membawa dan dibawa oleh
posisi itu, dan sudah tepatkah dia bertindak selama itu. Tidak berpikir,
artinya tidak pernah bersikap kritis."

Usai kelas, saya jadi teringat pada suatu peristiwa yang baru saja terjadi,
di salah satu perguruan tinggi di Australia juga. Ketika itu, seorang
mahasiswa pascasarjana yang baru mengusaikan kuliahnya terkejut menerima
surat invitasi wisudanya, karena dalam wisuda itu ternyata ia dinyatakan
akan memperoleh penghargaan tertinggi.

Risetnya memang bagus dan ia menyelesaikan studinya dalam jangka waktu yang
lebih cepat dari normal. Tetapi kemudian, ia menyadari bahwa sesungguhnya
tidak semua nilainya A. Padahal, syarat penghargaan tertinggi itu semua
nilai harus A.

Ia ingin mengonfirmasi penghargaan yang akan diterimanya itu, tetapi hampir
tak ada yang mendukungnya. Mengapa keberuntungan harus dipertanyakan lagi,
sehingga membuka kemungkinan penghargaan, yang tentu menjadi impian semua
mahasiswa itu, terbang kembali dari tangannya?

Tetapi, ia begitu gelisah, hingga diangkatnya juga gagang telepon, "Saya
akan sangat bergembira menerima penghargaan itu. Tetapi, mohon diperiksa
lagi, layakkah saya?" Dan jawabannya memang adalah kebenaran yang melukai,
"Kami sungguh mohon maaf telah menempatkanmu pada peringkat pertama."

Saya tahu ia begitu limbung setelah itu. Hampir saja ia mendapatkan
penghargaan tertinggi itu, tanpa seorang pun perlu tahu apakah itu
keberuntungan atau keteledoran.

Puluhan orang lain di tanah airnya, Indonesia, bahkan rela membayar
beberapa juta hanya untuk mendapatkan gelar master atau doktor tanpa harus
bermalam di perpustakaan dan menangis kecapaian selama berbulan-bulan
seperti dirinya.

Dan dia, apa yang dicarinya dengan melepaskan sebuah gelar impiannya hanya
bagi sebuah nilai, yang mungkin, hanya kesunyian yang tahu?

Dengan mata basah, ia berjalan menembus malam, sendirian. Konon, hati
nurani memang bukan untuk didefinisikan, tetapi untuk diikuti. Tetapi,
hanya kesunyian yang memahami.

"Hati nurani itu apa? Saya tidak tahu artinya. Yang saya pahami kini hanya,
bahwa hati nurani selalu tidak mengizinkan seseorang untuk terlalu gembira.
Tetapi juga, adalah hati nurani yang selalu menjadi harga terakhir, ketika
ia tengah tersungkur pada titik terbawah kelemahan dirinya."

Ketika itu, tampaknya ia memang sedang berpikir. Berpikir seperti itu, yang
adalah mendayagunakan seluruh kekuatan akalnya, ternyata memang tidak
sederhana.

Tidak ada komentar: